RADARCIREBON.TV – Tahun 1945 menjadi titik balik sejarah bangsa Indonesia. Setelah ratusan tahun dijajah, akhirnya rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, kemerdekaan itu belum benar-benar aman. Bangsa asing, terutama Belanda yang ingin kembali menjajah dengan bantuan sekutunya—Inggris—berusaha merebut kembali kekuasaan atas negeri ini.
Di tengah gejolak itu, kota Surabaya menjadi medan pertarungan paling sengit dan bersejarah. Di sinilah, semangat kemerdekaan diuji. Di sinilah, rakyat biasa menjelma menjadi pahlawan sejati.
Salah satu tokoh paling mencolok dalam perjuangan ini adalah Bung Tomo, seorang pemuda jurnalis yang tak bersenjata, tapi punya suara yang membakar semangat rakyat. Lewat siaran radio, Bung Tomo menyampaikan orasi-orasi yang menggugah, menyulut nyala perlawanan rakyat dari segala penjuru kota.
Baca Juga:Tak Hanya Ono, Maulana Yusuf PKB Juga Kritik KDM Soal Hibah PesantrenDaripada Nyenggol Jakarta, Mang Ono Minta KDM Fokus Urus Jawa Barat Saja
> “Saudara-saudara! Jangan kita gentar! Tuhan bersama kita! Merdeka atau mati!”
Api Perlawanan dari Surabaya
Awalnya, pasukan Sekutu datang ke Surabaya dengan alasan melucuti tentara Jepang. Namun, niat mereka tersembunyi: membantu Belanda kembali berkuasa. Ketegangan memuncak ketika pemimpin Sekutu, Brigadir Jenderal Mallaby, tewas dalam bentrokan di Surabaya pada 30 Oktober 1945. Sebagai balasannya, Sekutu mengultimatum rakyat Surabaya agar menyerah.
Namun rakyat tak gentar. Dalam siaran radio yang menggema dari rumah ke rumah, Bung Tomo menegaskan bahwa ini adalah soal harga diri dan kemerdekaan. Anak-anak muda, santri-santri pesantren, buruh, pedagang, bahkan ibu rumah tangga, semua bersatu. Mereka mengangkat senjata—meski hanya bambu runcing—dan menyiapkan kota untuk bertempur.
Pertempuran Dahsyat 10 November
Pagi buta 10 November 1945, pasukan Sekutu menyerbu. Bom dijatuhkan dari udara, tembakan artileri mengguncang rumah-rumah, dan tank-tank melaju menghancurkan bangunan. Tapi rakyat Surabaya tidak mundur.
Di tengah asap dan kobaran api, teriakan “Allahu Akbar!” dan “Merdeka!” bersahut-sahutan. Anak-anak muda menerobos barikade, pasukan rakyat menyerang dari gang ke gang. Darah tertumpah, nyawa melayang, tapi tak ada yang menyerah.
Bung Tomo tetap menyiarkan pidatonya meski nyawanya terancam. Radio menjadi senjata paling mematikan—bukan untuk membunuh, tapi untuk membakar semangat juang.