Dari Anak Lorong ke Raja Lapangan: Kisah Lamine Yamal, Bintang yang Dulu Menatap Langit

Lamine Yamal
Striker Barcelona, Lamine Yamal datang dari keluarga imigran yang akhirnya mewujudkan mimpinya di Barcelona
0 Komentar

RADARCIREBON.TV – Di sudut kota Barcelona yang tak tampak di kartu pos wisata, di balik dinding kusam apartemen yang retak dan lorong-lorong sempit yang dipenuhi teriakan hidup, lahirlah seorang anak kecil dengan nama besar yang belum dikenal siapa pun: Lamine Yamal Nasraoui Ebana.

Dia bukan anak orang kaya. Bukan pula anak dari keluarga pesohor. Ayahnya berasal dari Maroko, imigran pekerja keras yang tubuhnya dilipat-lipat oleh pekerjaan kasar. Ibunya datang dari Guinea Ekuatorial, wanita kuat yang menyulam harapan dari dapur sempit dan lantai dingin tanpa karpet. Mereka tak punya warisan. Tak punya koneksi. Yang mereka punya hanyalah satu hal: cinta untuk seorang anak laki-laki yang terlalu besar untuk dunia kecil mereka. Dan anak itu… tidak seperti yang lain.

Langit Malam dan Doa Diam-Diam

Setiap malam, sebelum tidur, Lamine duduk di pinggir balkon tua. Dari sana, ia memandang langit—bukan karena romantis, tapi karena hanya itulah hiburan yang gratis. Di sana, ribuan bintang berkedip. Terlihat kecil, tapi terasa besar. Ia tak tahu nama-nama mereka, tapi ia tahu satu hal: “Aku ingin seperti mereka. Bersinar. Tinggi. Tak terjangkau.”

Baca Juga:Kisah Juan Román Riquelme: Diam yang Berbicara, Seniman Sepak Bola dari Buenos AiresKisah Mike Tyson : Dari Jalanan Brooklyn Hingga Juara Dunia yang Tak Terlupakan

Dalam gelap, ia berbicara pada Tuhan dalam diam. Doanya tak panjang. Hanya: “Tolong beri aku bola. Dan satu kesempatan.”

Ia tidak tahu bahwa semesta, diam-diam, sedang menulis naskah keajaiban.

Bola, Luka, dan Luka yang Tak Pernah Menyakitkan

Sejak kecil, bola adalah segalanya. Ia menendang bola dari plastik bekas. Dari kain gulungan. Dari botol kosong. Ia menggiring bola di jalanan yang penuh batu dan kerikil seperti Messi menggiring bola di Camp Nou — hanya saja, penontonnya adalah tiang listrik dan anjing liar.

Tak jarang, lututnya berdarah. Tapi ia tersenyum. Karena bagi Lamine, rasa sakit di kaki tak seberapa dibanding lapar di hati yang ingin membuktikan: anak miskin pun bisa bermimpi tinggi.

Ia bukan hanya bermain bola. Ia hidup untuk bola. Bola adalah nyawanya, detaknya, bahkan pelariannya dari dunia yang terlalu sempit untuk mimpinya yang terlalu besar.

0 Komentar