RADARCIRENON.TV – Di antara lembah-lembah berkabut dan hutan-hutan rimba Tanah Sunda, nama Prabu Siliwangi hidup dalam bisikan legenda dan getaran sejarah.
Ia bukan hanya raja, tetapi sosok yang menjadi simbol kebijaksanaan, kekuatan spiritual, dan kejayaan kerajaan Sunda-Pajajaran. Namun, siapa sebenarnya Prabu Siliwangi? Apakah ia tokoh sejarah nyata? Atau hanya mitos yang diciptakan oleh rakyat Sunda untuk menandingi kisah-kisah epik dari Jawa dan Bali?
Latar Sejarah: Kerajaan Sunda Pajajaran
Kerajaan Sunda Pajajaran (abad ke-14 hingga 16 M) berpusat di Pakuan (kini Bogor). Berdasarkan naskah kuno seperti Carita Parahyangan, Babad Tanah Sunda, dan Kronik Cina, kerajaan ini adalah salah satu kerajaan besar di Tatar Sunda, penerus Tarumanagara, dan memiliki hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Asia lainnya.
Baca Juga:Perang Bubat: Tragedi Cinta, Kehormatan, dan Larangan Menikah Sunda – JawaBejatnya DS, Predator Anak di Balik Seragam Tenaga Medis Rumah Sakit Cirebon
Dalam sejarah resmi, nama Siliwangi biasanya dikaitkan dengan Sri Baduga Maharaja, raja yang memerintah antara tahun 1482–1521. Ia dikenal karena membangun irigasi, menjaga kelestarian hutan, dan menyatukan wilayah-wilayah yang sebelumnya terpecah. Namun kisah rakyat melebihi sekadar catatan sejarah—ia dipercaya sebagai Prabu Siliwangi, raja agung yang memiliki kekuatan supranatural.
Asal-usul Prabu Siliwangi: Keturunan Dewa atau Raja Bijak?
Legenda menyebut bahwa Prabu Siliwangi adalah keturunan dari dewa dan manusia. Ia lahir dari Prabu Anggalarang, raja Galuh.
Nama lainnya adalah Jayadewata lahir sekitar akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Ia adalah putra Prabu Dewa Niskala, raja terakhir Kerajaan Galuh, dan cucu dari Prabu Niskala Wastu Kancana, raja besar Sunda-Galuh yang memindahkan pusat kekuasaan ke Pakuan Pajajaran.
Ibunya adalah Dewi Ratna Sarkati, putri dari kerajaan Sumedang Larang. Jayadewata dibesarkan di lingkungan istana Galuh dan Pakuan, yang saat itu menjadi pusat pendidikan, spiritualitas, dan kekuasaan di Tatar Sunda.
Prabu Anggalarang, juga dikenal sebagai Niskala Wastu Kancana, adalah raja yang memerintah dari tahun 1371 hingga 1475.
Namanya sendiri, Siliwangi, diyakini berasal dari istilah “Silih Wangi” yang berarti “pengganti yang harum” atau “raja penerus yang harum namanya.” Ia dipercaya menyatukan dua kekuatan besar: Galuh dan Sunda, dan membawa kedamaian serta kemakmuran.
Perjalanan Spiritual dan Kesaktian
Tak seperti raja biasa, Prabu Siliwangi tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tapi juga ilmu spiritual. Ia belajar dari para resi dan petapa di hutan-hutan, mempelajari ajian-ajian dan falsafah Sunda Wiwitan.
Konon, ia memiliki kemampuan:
Mengubah wujud menjadi harimau putih (macan putih).
Berbicara dengan alam dan makhluk gaib.
Menghilang dan berpindah tempat dalam sekejap.
Menundukkan jin dan makhluk halus.
Baca Juga:Presiden Prabowo Tiba di Bangkok: Diplomasi, Kehormatan, dan Bukan Misi Basa – BasiOJK Dorong Penguatan Pembiayaan Ekosistem Industri Tekstil dan Produk Tekstil Nasional
Salah satu legenda menyebut bahwa Prabu Siliwangi bisa berjalan di atas air dan memiliki pusaka gaib bernama Kujang Pusaka yang hanya bisa digunakan oleh raja yang memiliki keluhuran batin.
Masa Kejayaan Pajajaran
Di bawah kepemimpinannya, Pajajaran mengalami masa keemasan: Sistem irigasi dibangun di Sungai Ciliwung. Hutan-hutan dilestarikan sebagai leuweung larangan (hutan keramat). Perdagangan maritim berkembang pesat melalui Pelabuhan Sunda Kalapa (sekarang Jakarta).
Agama, seni, dan budaya berkembang dengan harmonis antara tradisi Hindu-Buddha dan keyakinan lokal Sunda Wiwitan.
Ia disegani raja-raja tetangga, termasuk Majapahit, yang kala itu tengah mengalami kemunduran. Banyak raja kecil mengirim upeti, dan wilayah Sunda meluas hingga ke wilayah Priangan dan pesisir utara.
Prabu Siliwangi, raja agung Pajajaran yang dikenal juga sebagai Sri Baduga Maharaja, pernah menjalin cinta dengan seorang perempuan istimewa: Nyai Subanglarang, anak dari Ki Gedeng Tapa, penguasa pelabuhan penting Singapura (nama pelabuhan lama, bukan negara Singapura sekarang), yang kemudian menjadi bagian dari Cirebon.
Nyai Subanglarang bukan wanita biasa. Ia adalah seorang bangsawan Sunda yang sudah memeluk agama Islam sejak muda dan berguru kepada Syekh Quro, ulama dari Champa yang menyebarkan Islam di wilayah pesisir utara Jawa Barat.
Prabu Siliwangi jatuh cinta pada kecantikan dan kecerdasan Subanglarang. Meski berasal dari keluarga kerajaan Hindu-Buddha, ia tidak menolak menikahi Subanglarang yang telah masuk Islam. Namun, pernikahan ini bersifat unik dan penuh batasan:
Subanglarang diizinkan tetap menjalankan ajaran Islam.
Anak-anak hasil pernikahan ini kelak tidak diangkat sebagai pewaris utama Pajajaran, sebab tidak mengikuti kepercayaan sang ayah.
Pernikahan ini melahirkan tiga anak utama, yang semuanya akan membawa peran besar dalam sejarah Islam di Tanah Sunda:
Tiga Anak Legendaris dari Subanglarang
Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana)
Anak pertama, menolak menjadi raja Pajajaran.
Merantau ke Cirebon dan berguru kepada Syekh Datul Kahfi di Gunung Jati.
Mendapat restu membangun pemukiman Islam di Cirebon Girang (kemudian berkembang menjadi Cirebon).
Dikenal sebagai Pangeran Cakrabuana, pendiri cikal bakal Kesultanan Cirebon.
Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im)
Anak kedua, dikenal cantik dan cerdas. Melakukan perjalanan ke Mekah dan menikah dengan Syarif Abdullah, bangsawan keturunan Rasulullah.
Dari pernikahan ini lahirlah Syarif Hidayatullah, yang kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Raden Kian Santang (Pangeran Santri)
Anak ketiga, ahli bela diri dan terkenal sakti.
Awalnya keras kepala dan senang berperang, namun akhirnya memeluk Islam dan menjadi tokoh penyebar dakwah.
Konon mampu menundukkan pendekar-pendekar besar, dan memiliki ilmu kanuragan luar biasa.
Retaknya Hubungan Ayah dan Anak
Saat Prabu Siliwangi naik tahta sebagai Raja Pajajaran, ia harus tunduk pada hukum kerajaan Hindu-Buddha yang mewajibkan raja memegang kepercayaan leluhur. Subanglarang dipulangkan ke daerah ayahnya.
Anak-anaknya pun memilih jalan berbeda:
Walangsungsang, Rara Santang, dan Kian Santang meninggalkan istana Pajajaran, memilih jalan dakwah Islam.
Prabu Siliwangi tetap teguh mempertahankan tradisi Sunda dan spiritualitas Hindu-Sunda.
Perpisahan ini tragis, namun menjadi titik balik lahirnya Kesultanan Islam di Tatar Sunda.
Lahirnya Kesultanan Cirebon dan Banten
Kesultanan Cirebon
Didirikan oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), cucu Prabu Siliwangi.
Menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat.
Tidak hanya religius, tetapi juga pusat diplomasi antara Demak, Banten, dan kerajaan lainnya.
Kesultanan Banten
Didirikan oleh Maulana Hasanuddin, anak Sunan Gunung Jati.
Menjadi kekuatan maritim besar dan pelabuhan dagang internasional.
Banten berkembang sebagai pesaing berat Portugis dan VOC di wilayah barat Nusantara.
Dengan demikian, dua kesultanan besar di Jawa Barat adalah keturunan langsung Prabu Siliwangi, meskipun mereka mengambil jalur spiritual yang berbeda dari sang raja.
Akhir Kisah Prabu Siliwangi: Memilih Moksa daripada Perang
Dalam versi legenda rakyat, setelah melihat banyak rakyatnya beralih ke Islam, dan anak-cucunya menjadi ulama besar, Prabu Siliwangi memilih moksa—menghilang secara gaib bersama pasukan setianya.
Konon, mereka menyingkir ke hutan Sancang (di Garut) atau ke alam gaib di Gunung Salak. Suaranya masih didengar oleh mereka yang peka: deru harimau putih, langkah pasukan tanpa wujud, bisikan lembut di tengah sunyi.
Jejak yang Tak Pernah Padam
Kisah cinta Prabu Siliwangi dan Subanglarang bukan sekadar cerita romansa, tapi simbol transisi budaya—dari kerajaan Hindu-Buddha menuju kerajaan Islam di Tatar Sunda.
Darah Prabu Siliwangi mengalir di tubuh para pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten, menunjukkan bahwa sejarah tak hanya tentang kemenangan militer, tetapi juga kesinambungan nilai, keyakinan, dan cinta yang lintas zaman.
Misteri terbesar Prabu Siliwangi muncul ketika Islam mulai menyebar ke Tatar Sunda. Dakwah Islam masuk dari pesisir barat dan utara, terutama melalui Cirebon dan Banten yang mulai tumbuh sebagai pusat kekuatan baru.
Putra-putra dan menantunya, seperti Prabu Kian Santang (dalam legenda) dan tokoh-tokoh seperti Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), memeluk Islam.
Namun, Prabu Siliwangi—menurut versi legenda—menolak meninggalkan kepercayaan leluhurnya. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, tapi keras dalam mempertahankan nilai-nilai spiritual asli Sunda.
“Aku tak menolak Islam,” katanya, “tapi aku tak akan meninggalkan ajaran nenek moyangku.”
Dalam kisah yang beredar di masyarakat, ia tak ingin terjadi pertumpahan darah antara rakyat yang memeluk Islam dan yang bertahan pada kepercayaan lama. Maka, dalam satu keputusan spiritual besar, ia menghilang—”moksa”—bersama pasukannya ke alam gaib.
Harimau Putih: Simbol Abadi
Prabu Siliwangi dipercaya berubah menjadi macan putih, roh penjaga tanah Sunda. Harimau ini muncul dalam berbagai ritual adat, lukisan, dan cerita rakyat, terutama di sekitar Gunung Salak, Gunung Halimun, dan wilayah keramat di Bogor, Sukabumi, dan Cirebon.
Macan Siliwangi bukan sekadar simbol kekuatan, tapi juga pelindung budaya dan jati diri Sunda.
Warisan Prabu Siliwangi
Meski Kerajaan Sunda runtuh tahun 1579 akibat serangan Kesultanan Banten, nama Prabu Siliwangi tetap hidup. Ia menjadi:
Simbol kebesaran budaya Sunda.
Tokoh spiritual dan patriotik.
Inspirasi bagi perjuangan identitas lokal terhadap tekanan budaya luar.
Nama Siliwangi bahkan diabadikan dalam berbagai bentuk:
Kodam III/Siliwangi: komando militer yang sangat dihormati.
Kisah-kisah wayang golek, tembang, dan sastra Sunda.
Tempat-tempat keramat seperti Batu Tulis (Bogor), Gunung Padang (Cianjur), dan Prabu Siliwangi Park (Kuningan).
Epilog: Raja yang Tak Pernah Mati
Prabu Siliwangi, dalam mata rakyat Sunda, tidak mati. Ia hanya berpindah ke alam lain. Dalam kepercayaan masyarakat, suatu saat ia akan kembali—ketika tatanan dunia kacau dan rakyat Sunda membutuhkan pencerahan.
“Siliwangi moal aya nu ngagentos. Anjeunna henteu pupus, ngan ngalih.”
(Siliwangi tak tergantikan. Ia tidak mati, hanya berpindah.) Maka, setiap desiran angin di pegunungan Priangan, setiap suara harimau di malam sunyi, adalah bisikan dari raja agung yang tetap menjaga tanah kelahirannya—Prabu Siliwangi.
Disclaimer:
Cerita yang disajikan mengandung unsur sejarah, legenda, dan penafsiran budaya. Oleh karena itu, kisah ini tidak dimaksudkan sebagai catatan sejarah akademik yang mutlak, melainkan sebagai interpretasi kultural yang bertujuan menghidupkan kembali semangat, nilai, dan warisan tokoh besar seperti Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi). Pembaca diajak untuk melihat narasi ini sebagai bagian dari identitas sejarah dan kebijaksanaan lokal yang patut dihargai.