Intrik dan Ambisi Gajah Mada
Gajah Mada, sang Mahapatih, memiliki rencana berbeda. Ia tidak melihat pernikahan ini sebagai hubungan cinta atau diplomasi sejajar. Bagi Gajah Mada, ini adalah kesempatan menundukkan Kerajaan Sunda sebagai bagian dari pelaksanaan Sumpah Palapa.
Ia menyampaikan kepada Hayam Wuruk bahwa pengantin perempuan akan dibawa masuk ke istana sebagai persembahan politik, bukan sebagai pasangan sejajar. Artinya, Dyah Pitaloka akan menjadi simbol kekalahan Sunda dan tanda bahwa kerajaannya tunduk pada Majapahit.
Hayam Wuruk, yang semula berniat tulus, menjadi ragu dan membiarkan keputusan ini digiring oleh pengaruh Patih Gajah Mada.
Penolakan Kehormatan Sunda
Baca Juga:Bejatnya DS, Predator Anak di Balik Seragam Tenaga Medis Rumah Sakit CirebonPresiden Prabowo Tiba di Bangkok: Diplomasi, Kehormatan, dan Bukan Misi Basa – Basi
Ketika kabar ini sampai ke Prabu Linggabuana, amukan dan luka harga diri meledak. Sebagai raja yang datang dengan niat baik, ia tidak menerima jika anaknya diperlakukan sebagai tanda penyerahan diri.
Ia berkata tegas:
“Kami datang membawa cinta dan kehormatan. Jika kalian menolaknya, kami akan kembali. Tapi jangan hinakan darah kami!”
Namun Gajah Mada bersikeras. Ketegangan memuncak.
Perang Bubat: Pertumpahan Darah di Tanah Tamu
Di pagi yang muram itu, pasukan Majapahit mengepung Alun-Alun Bubat. Rombongan Sunda yang tidak siap tempur, dikepung dan dipaksa melawan dengan senjata seadanya.
Prabu Linggabuana dan para pengawal gagah berani bertempur habis-habisan mempertahankan kehormatan mereka. Pertempuran tidak seimbang. Seorang demi seorang pahlawan Sunda gugur dengan darah di tubuh dan tanah yang asing.
Sampai akhirnya, Prabu Linggabuana sendiri terpukul tebasan terakhir, menghembuskan napas di tengah ladang kehinaan yang ditolak.
Keputusan Tragis Sang Putri
Dyah Pitaloka melihat ayahnya, ibunya, para paman, dan pengawal tewas demi dirinya. Ia tahu, kini tak ada yang bisa menyelamatkan martabat Sunda selain pengorbanan diri.
Dalam kesunyian dan luka batin yang tak terhingga, ia menarik keris ayahnya dan menusuk dirinya sendiri. Sebagian versi mengatakan ia menceburkan diri ke sumur. Yang pasti, Dyah Pitaloka memilih mati daripada menjadi alat politik.
Duka dan Kutukan Sejarah
Baca Juga:OJK Dorong Penguatan Pembiayaan Ekosistem Industri Tekstil dan Produk Tekstil NasionalDuo Covid Tinggalkan Persib: Era Baru Tanpa Ciro Alves dan David da Silva
Peristiwa ini menjadi aib besar bagi Hayam Wuruk. Sang raja dikisahkan sangat berduka dan menyesal, namun semuanya sudah terlambat. Ia tidak bisa lagi mencintai Dyah Pitaloka karena sang putri telah memilih kehormatan di atas cinta.