RADARCIREBON.TV – Di kota kecil Azul, tiga jam perjalanan dari hiruk pikuk Buenos Aires, seorang bocah kurus dengan rambut acak-acakan lebih sering terlihat menggenggam raket ketimbang bola.
Namanya Franco Mastantuono, dan pada awalnya, dunia menyangka ia akan menjadi petenis. Ia bahkan mewakili provinsinya dalam kejuaraan tenis junior di usia 10 tahun.
Tapi suatu hari, ia diam-diam meninggalkan lapangan tenis tanpa pamit. Ia menggantung raketnya dan memilih mengejar bola bundar—tanpa sponsor, tanpa sorotan, hanya dengan satu keyakinan: “Aku merasa lebih hidup saat menendang bola.”
Azul: Kota Kecil, Mimpi Besar
Baca Juga:Terlahir Offside, Legenda Italia Filippo Inzaghi:Pemain yang Posisinya Dicari BolaTampil Berdua, Gubernur Dedi Mulyadi dan Gubernur Sherly Tjoanda Dijodohkan Warganet
Franco lahir dari keluarga berdarah Italia, sederhana tapi disiplin. Ayahnya bekerja sebagai pegawai bangunan. Ibunya mengurus rumah dan sering memarahi Franco karena sepatunya lebih sering kotor karena bermain bola di lapangan tanah belakang sekolah.
Namun dalam sunyi Azul, Franco tumbuh sebagai anak yang tidak biasa. Di sekolah, ia pemalu dan tidak banyak bicara. Tapi di lapangan, ia menjadi maestro kecil: passing dengan luar biasa akurat, kontrol bola tenang, dan insting tajam membaca permainan. Para pelatihnya menyebutnya “anak yang bermain seperti lelaki dewasa dengan hati bocah 12 tahun.”
Terbang ke River Plate: Tiket ke Dunia yang Lebih Kejam
Usia 12 tahun, Franco dipanggil mengikuti akademi River Plate—klub terbesar di Argentina. Ia harus meninggalkan rumah dan tidur di asrama bersama anak-anak dari penjuru negeri. Banyak yang lebih kuat, lebih cepat, lebih tinggi. Tapi tak ada yang lebih sabar dan lebih cerdas darinya.
Setiap malam sebelum tidur, Franco menonton video Zidane dan Riquelme. Ia mencatat di buku kecil: “Cara Zidane mengontrol bola di bawah tekanan. Gerakan bahu Riquelme yang mengelabui lawan.” Dia bukan hanya berlatih, dia belajar sepak bola seperti orang belajar puisi.
Debut Ajaib, Gol Termuda, dan Mata Dunia
Pada usia 16 tahun, Franco melakukan debut senior di River. Beberapa minggu kemudian, ia mencetak gol profesional pertamanya di Copa Argentina—menjadikannya pencetak gol termuda dalam sejarah klub. Ia tidak melakukan selebrasi liar. Ia hanya menengadah ke langit dan menggenggam jerseynya.
Media mulai gaduh. Para pengamat menyebutnya “Zidane dari Azul.” Di Argentina, ia jadi bahan gosip antara klub-klub besar: PSG, City, dan tentu saja, Real Madrid.
Madrid Datang—Tapi Franco Tidak Silau
Musim panas 2025, Real Madrid menawar €45 juta untuknya. Tawaran gila bagi remaja 17 tahun. Banyak anak seusianya akan langsung berkata ya. Tapi Franco butuh waktu. Ia meminta waktu untuk berkonsultasi dengan keluarganya, pelatihnya, bahkan psikolog klub.
Akhirnya ia berkata:
Baca Juga:KDM Kaget: Anak Dibawah Umur di Cirebon Sudah Bisa Bikin Bom MolotovArda Güler: Bocah Pendiam Dari Ankara yang Kini Menggetarkan Dunia
“Saya tidak datang ke Eropa untuk jadi sensasi. Saya datang untuk belajar. Madrid bukan akhir mimpi saya. Ia adalah awal ujian saya.”
Cedera & Kritik: Mimpi yang Tergelincir
Setelah tanda tangan kontrak, Franco mengalami cedera otot dalam latihan pra-musim. Media Spanyol mulai mempertanyakan keputusan Madrid. “Apakah ini Luka Jovic berikutnya?” “Terlalu muda, terlalu rapuh?”
Namun di ruang sunyi fisioterapi, Franco tidak mengeluh. Ia belajar bahasa Spanyol, memperhatikan permainan Kroos dan Modrić, dan tetap mencatat di buku kecilnya:
“Modrić berpikir dua detik lebih cepat. Aku harus sampai di sana.”
Simbol Harapan Baru Argentina
Argentina telah lama haus akan “penerus Messi.” Tapi Franco tidak pernah mengklaim itu. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri—anak dari Azul yang menulis ulang nasibnya dengan kaki kiri dan hati besar.
Kini, anak-anak di Azul memakai nomor punggung 41. Di dinding sekolahnya tertulis:“Bermimpilah seperti Franco. Tapi jangan lupa—Franco juga bangun pagi.”