Fenomena Quiet Quitting, Cara Halus Gen Z Jepang Melawan Tekanan Dunia Kerja?

quiet quitting
fenomena quiet quitting di kalangan gen Z Jepang. foto; tangkapan layar/canva.
0 Komentar

RADARCIREBON.TV- Fenomena quiet quitting atau “berhenti diam-diam” menjadi perbincangan hangat dalam dunia kerja global, termasuk di Jepang. Berbeda dari pengunduran diri formal, quiet quitting berarti karyawan hanya melakukan pekerjaan sesuai tugas utama tanpa tambahan beban, lembur, atau inisiatif ekstra sebagai bentuk perlawanan pasif terhadap tekanan kerja berlebih.

Meskipun Jepang dikenal dengan budaya kerja keras (karōshi atau kematian karena kerja lembur bahkan menjadi istilah global), kini generasi muda khususnya Gen Z mulai menunjukkan penolakan halus terhadap nilai-nilai itu. Mereka tidak langsung keluar dari pekerjaan, tapi juga tidak ingin lagi “hidup untuk bekerja”.

Mengapa Gen Z Jepang Melakukan Quiet Quitting?

1. Kesadaran akan Kesehatan MentalGenerasi Z tumbuh di tengah gelombang kesadaran mental health yang lebih besar. Mereka tak segan menolak sistem kerja yang mengorbankan kesehatan fisik dan psikologis.

Baca Juga:Kenapa Lagu TikTok Sering Nempel di Kepala? Simak Fenomena EarwormDermatologis Bilang Kebanyakan Skincare Bisa Bikin Kulit Rusak, Simak Selengkapnya

2. Ketidakseimbangan Work-Life BalanceBanyak Gen Z merasa tuntutan kerja di Jepang terlalu kaku dan menyita waktu pribadi. Quiet quitting menjadi bentuk perjuangan untuk menjaga batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

3. Kurangnya Apresiasi dan Prospek KarierTak sedikit yang merasa kontribusi mereka tidak dihargai, sementara kesempatan naik jabatan tetap terbatas. Akibatnya, motivasi bekerja lebih menurun.

4. Pengaruh Budaya GlobalMedia sosial dan tren global juga mendorong Gen Z Jepang melihat opsi gaya hidup kerja yang lebih seimbang dan manusiawi.

Lalu Apa Dampaknya bagi Dunia Kerja Jepang?

Bagi perusahaan, tren ini bisa menjadi sinyal krisis motivasi dan loyalitas. Penurunan produktivitas, minimnya keterlibatan, dan potensi stagnasi inovasi adalah beberapa risiko yang bisa muncul.

Namun di sisi lain, tren ini juga bisa menjadi peluang untuk refleksi. Banyak perusahaan mulai mengevaluasi kembali sistem manajemen, pola komunikasi atasan-bawahan, serta memberi ruang untuk fleksibilitas dan penghargaan terhadap kontribusi karyawan.

Dapat disimpulkan, Quiet quitting di kalangan Gen Z Jepang bukanlah sekadar “malas bekerja”, melainkan bentuk perlawanan diam terhadap sistem yang dianggap tidak adil dan terlalu menekan. Jika perusahaan ingin bertahan dan berkembang, mereka perlu memahami aspirasi generasi muda bukan menentangnya, tapi beradaptasi dan tumbuh bersama.

0 Komentar