Kisah Matthew Bellamy: Frontman Muse Yang Bakal Konser di Jakarta, Band Penuh Teori Konspirasi

Matthew Bellamy Muse
Matthew Bellamy, Frontman Band Muse asal Inggris akan segera menggelar konser di Jakarta Foto : Muse France
0 Komentar

RADARCIREBON.TV – Di atas panggung, dia terlihat seperti ilmuwan gila yang kabur dari laboratorium, membawa gitar futuristik dan meneriakkan teori konspirasi dengan nada falsetto. Tapi di balik semua itu, Matthew Bellamy adalah jantung berdetak dari Muse — band yang bukan hanya memainkan musik, tapi mengubahnya menjadi peperangan emosi, teknologi, dan perlawanan terhadap tatanan dunia.

Lahir pada 9 Juni 1978 di Cambridge, Inggris, Matthew James Bellamy adalah anak dari George Bellamy — mantan gitaris band The Tornados (band Inggris pertama yang sukses di Amerika dengan lagu instrumental “Telstar”). Tapi ketenaran sang ayah bukan warisan yang membebaskan. Justru menjadi tekanan.

Matt muda tumbuh di tengah perceraian, pindah-pindah kota, dan dibesarkan oleh ibu tunggal. Ia menemukan pelarian dalam piano klasik, gitar, dan… teori fisika kuantum. Sungguh kombinasi yang mematikan.

Baca Juga:War Mulai Besok! Muse Bakal Konser di Jakarta! Ayo Amanin Tiketnya!Pelaku Seni Musik Hilang Sumber Penghasilan Selama Ramadan – Video

“Musik bukan sekadar melodi bagi saya, tapi sarana bertanya — dan menantang — realitas.”

Didirikan bersama teman sekolahnya, Dominic Howard (drum) dan Chris Wolstenholme (bass), Muse bukan band biasa. Mereka mulai tampil di klub kecil Devon dengan musik yang dianggap terlalu “berat” untuk industri dan terlalu “liar” untuk radio.

Namun Bellamy bersikeras. Ia mencampur falsetto seperti Jeff Buckley, riff gitar yang setara metal, piano klasik ala Chopin, serta tema lagu tentang perang, korupsi, alien, dan pencucian otak massal. Entah itu ambisi atau delusi, hasilnya adalah album debut Showbiz (1999), disusul dengan Origin of Symmetry — dan sejak itu, Muse tak pernah benar-benar dianggap normal.

Yang membuat Matt unik bukan cuma suaranya yang bisa menembus langit-langit stadion, tapi juga isi kepalanya:

Percaya akan manipulasi media massal dan sistem keuangan global. Menulis lagu tentang pembebasan pikiran manusia dari Matrix realita palsu.

Menggabungkan sains dan spiritualitas dalam musik. Album seperti Absolution, Black Holes and Revelations, dan The Resistance bukan hanya koleksi lagu — tapi manifes perlawanan terhadap distopia modern. Lagu seperti Uprising, Hysteria, Supermassive Black Hole, hingga Knights of Cydonia adalah teriakan digital di tengah masyarakat yang pasrah pada algoritma.

0 Komentar