Di zaman di mana sepak bola terjerat oleh teknologi, dibungkus oleh statistik, dan dikendalikan oleh sensor GPS, Maxwell memilih jalur manusiawi: hati. Di atas lapangan, ia memang harus mengikuti skema dan taktik. Tapi di baliknya, ia tetap percaya pada hal-hal yang tak bisa diukur, loyalitas, kebanggaan, dan harga diri.
Persija, dalam upaya menciptakan harmoni baru, seolah sedang menyusun algoritma yang tak bisa diciptakan komputer: kombinasi antara semangat, teknik, dan makna. Maxwell adalah salah satu elemennya. Seperti aliran listrik yang menghidupkan mesin tua, kehadirannya bisa jadi nyawa baru yang mengalir di tubuh Macan Kemayoran.
Kini, semuanya kembali pada waktu. Apakah Jakarta akan menjadi rumah? Atau hanya lagi-lagi persinggahan? Tapi satu hal yang pasti: jika benar Maxwell mengucap sumpahnya dengan jujur, maka yang ia bawa bukan hanya sepatu bola dari Brasil, tapi juga jiwa. Dan itu di tengah dunia yang semakin digital adalah hal paling langka yang bisa dimiliki sebuah klub.