RADARCIREBON.TV – Pemerintah Kabupaten Pati secara resmi telah mengambil keputusan untuk meningkatkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sekitar 250% pada tahun 2025. Pengumuman ini disampaikan melalui situs resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, setelah dilakukan penguatan perbincangan bersama camat dan perwakilan Paguyuban Solidaritas Kepala Desa (Pasopati) di Kantor Bupati.
Dalam pertemuan tersebut, Bupati Pati, Sudewo, mengungkapkan bahwa kenaikan ini diperlukan karena tarif PBB belum mengalami perubahan selama 14 tahun terakhir. Ia menekankan, “Kami telah sepakat bersama bahwa tarif akan dinaikkan sebesar 250 persen karena PBB sudah tidak mengalami kenaikan selama 14 tahun.”
Sudewo juga membandingkan pendapatan PBB Kabupaten Pati yang hanya mencapai Rp29 miliar dengan daerah sekitarnya seperti Jepara (Rp75 miliar), Rembang (Rp50 miliar), dan Kudus (Rp50 miliar). Ia berpendapat bahwa secara lokasi dan potensi, Kabupaten Pati seharusnya lebih unggul.
Baca Juga:Jateng Sudah Jalankan Aglomerasi! Gubernur Jateng Dijuluki 'Bapak Inisiator Aglomerasi: Prestasi NyataBupati Pati Viral!! PBB Pati Naik Fantastis 250%: Kebijakan Pro Rakyat atau Eksploitasi?
“PBB Kabupaten Pati hanya senilai Rp29 miliar, sementara di Kabupaten Jepara mencapai Rp75 miliar. Sementara itu, Kabupaten Pati lebih besar dibanding Kabupaten Jepara. Kabupaten Kudus menghasilkan Rp50 miliar, padahal Kabupaten Pati juga lebih besar dibanding Kudus,” tambah Sudewo.
Ia menegaskan bahwa penyesuaian ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur jalan, perbaikan RSUD RAA Soewondo, serta penguatan sektor pertanian dan perikanan yang “kesemuanya memerlukan dana yang tinggi. ”
“Proyek infrastruktur jalan, pemulihan RSUD RAA Soewondo, serta sektor pertanian dan perikanan membutuhkan biaya yang signifikan. Alhamdulillah, para camat serta kepala desa setuju untuk melaksanakan kebijakan ini,” ujarnya.
Keputusan ini memicu reaksi keras di kalangan masyarakat. Banyak warga merasa kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa keluhan datang dari pelaku usaha kecil, petani, dan masyarakat berpenghasilan rendah yang merasa tidak siap dengan kenaikan pajak yang drastis ini. Walaupun ada argumentasi teknis yang mendasari penyesuaian terkait rendahnya pendapatan PBB selama lebih dari satu dekade, kenaikan sebesar 250% tampak terlalu berat bagi sebagian besar masyarakat.
Di tengah kondisi ekonomi pasca-pandemi, tambahan beban ini bisa memperburuk ketimpangan sosial yang ada. Pengkritik kebijakan lokal menegaskan bahwa kebijakan fiskal seperti ini perlu diimbangi dengan diskusi publik yang lebih luas dan skema bantuan bagi kelompok yang rentan. Pembangunan infrastruktur, rumah sakit, atau penguatan sektor primer memang penting. Namun, apakah masyarakat benar-benar siap untuk menanggung biaya yang begitu tinggi tanpa adanya solusi pendanaan yang alternatif dan sosialisasi yang mendalam?