Di Desa Sarwadadi, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, seorang pengrajin sapu ijuk tetap menjalankan usahanya secara mandiri. Meski produksi berjalan secara konsisten, keterbatasan sumber daya menghambat perluasan kapasitas usaha.
Aktivitas produksi sapu ijuk tradisional masih berlangsung hingga kini. Mamat, seorang pelaku UMKM di Desa Sarwadadi, Talun, Kabupaten Cirebon, menjalankan usaha ini secara mandiri.
Setiap harinya ia mampu memproduksi antara 20–30 sapu ijuk jenis rayung. Bahan baku utama berupa gagang rotan didatangkan dari wilayah Tegal Wangi, sementara rumput rayung diperoleh dari daerah Batu Kolot Cirebon.
Baca Juga:Dinas Pendidikan Kelola Anggaran 1,3 Triliun – VideoDisdik Bersikukuh Prioritaskan Rehab Sekolah Rusak – Video
Seluruh proses produksi dilakukan secara manual, tanpa bantuan mesin, mulai dari perakitan hingga penjahitan.
Produk dijual kepada pengepul dan toko-toko dengan harga jual antara Rp10.000–Rp15.000 per unit, tergantung kualitas dan ukuran.
Meski permintaan pasar tergolong stabil, keterbatasan modal dan minimnya tenaga kerja menjadi kendala utama dalam mengembangkan skala usaha. Hingga saat ini, seluruh proses produksi masih dikerjakan secara manual.
Di tengah tantangan zaman dan gempuran produk pabrikan, Mamat memilih tetap setia mempertahankan usaha tradisional yang diwarisi dari orang tuanya. Selain menjadi sumber penghidupan, produk sapu rayung juga memiliki nilai budaya yang khas dan ramah lingkungan.
Dengan mempertahankan kearifan lokal dan semangat kewirausahaan, usaha sederhana seperti milik Mamat menjadi bagian penting dalam memperkuat ekonomi desa dan menjaga identitas budaya bangsa. Ia berharap bisa mendapatkan bantuan terkait modal agar bisa menambah tenaga kerja dan meningkatkan produksinya. Dengan itu, usahanya bisa berkembang dan memberi manfaat lebih luas bagi perekonomian desa.