Dengan kata lain, bukan tanpa jalan. Tetapi apakah Pemkab Cirebon benar-benar akan menggunakan mekanisme ini? Jika iya, publik berhak tahu dasar hukumnya, transparansi penugasannya, serta sejauh mana kewenangan seorang jaksa bisa berjalan seiring tupoksi Kabag Hukum.
Tanpa itu, langkah ini akan dianggap publik hanya sebagai manuver politik birokrasi yang dipaksakan.
Pertanyaan paling sederhana: kenapa harus jaksa? Bukankah Pemkab Cirebon punya cukup ASN berlatar belakang hukum untuk duduk di kursi Kabag Hukum? Apakah semua ASN itu dianggap tidak mumpuni atau tidak mampu? Apakah Pemkab Cirebon tidak punya ASN dari kampus bergengsi seperti UII, UGM, UNPAD atau kampus besar lainnya, atau justru ada hal lain yang lebih besar di balik penempatan APH?
Baca Juga:Pemkab Cirebon Gelar Promosi? Sekda, Kadispora, Kepala BKPSDM dan Kepala DPUTR Bakal Diisi Orang BaruPemkab Dukung Pelestarian Ngumbahkeun Pusaka Di Nunukbaru – Video
Jika alasannya profesionalitas, tidak bisa dipungkiri jaksa memang punya kompetensi mumpuni di bidang hukum. Namun, posisi Kabag Hukum bukan semata soal litigasi atau penegakan hukum pidana. Jabatan ini lebih banyak berkaitan dengan asistensi regulasi, perancangan produk hukum daerah, produk hukum turunan dari Kementerian, Provinsi rovinsi hingga harmonisasi kebijakan Pemkab.
Artinya, yang dibutuhkan bukan hanya orang yang paham hukum pidana, tapi juga menguasai birokrasi daerah. Pertanyaannya: apakah seorang jaksa bisa langsung menyesuaikan diri dengan kultur birokrasi Pemkab Cirebon yang terkenal ruwet dan penuh intrik?
Penempatan APH di jabatan struktural Pemda sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Di beberapa daerah, hal ini pernah terjadi dengan skema penugasan resmi. Namun, kasus itu juga tidak lepas dari sorotan publik, terutama soal independensi lembaga penegak hukum.
Sebab, ketika seorang jaksa masuk ke lingkup Pemkab, publik bisa saja curiga: apakah ini untuk memperkuat sinergi, atau justru untuk keperluan lainnya.
Dalam konteks Cirebon, isu ini kian sensitif. Pemkab sedang giat-giatnya melakukan bongkar pasang pejabat dan menghadapi rotasi besar-besaran.
Tidak heran jika wacana ini menimbulkan stigma beragam di kalangan publik, “Kalau jaksa bisa jadi Kabag Hukum, besok hakim sekalian saja jadi Kadis. Lengkap sudah birokrasi plus aparat penegak hukum di meja yang sama.”