Sarkasnya di sini: Lebanon datang ke Indonesia bukan untuk “uji nyali”, tapi justru untuk “uji coba.” Jadi kalau Indonesia sampai kalah, itu bukan cuma memalukan, tapi bisa jadi bahan olok-olok internasional.
Patrick Kluivert tentu tidak mau anak asuhnya diremehkan. Publik menunggu bagaimana ia meracik strategi menghadapi Lebanon yang memiliki postur rata-rata lebih tinggi dan fisik lebih tangguh. Secara teknis, Indonesia punya keunggulan dalam kecepatan, kreativitas, dan dukungan penuh dari puluhan ribu suporter di Surabaya. Stadion GBT akan jadi neraka bagi tim tamu.
Namun, keunggulan di atas kertas tidak akan berarti kalau Indonesia tampil setengah hati. Ingat, sepak bola tidak mengenal teori. Lebanon sudah membuktikan bisa menumbangkan Qatar. Kalau Garuda tidak fokus, bisa jadi sejarah baru tercipta: Indonesia dipermalukan di rumah sendiri.
Baca Juga:Timnas Indonesia Vs China Taipei: Menanti Debut Adrian Wibowo, Anak Surabaya yang Jadi Sayap di AmerikaJordi Amat Siap Tempur: 'Timnas Indonesia Sudah Persiapan Matang Hadapi Chinese Taipei dan Lebanon!
Perbedaan enam tingkat dalam ranking FIFA memang terlihat kecil. Tapi di sepak bola, jarak tipis bisa sangat menentukan. Lebanon di posisi 112 mungkin terlihat “hanya” sedikit lebih baik. Tapi pengalaman mereka melawan tim-tim Timur Tengah yang tangguh jelas lebih banyak ketimbang Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia masih haus pengalaman melawan tim yang berada di luar Asia Tenggara. Sebab selama ini, lawan yang dihadapi mayoritas dari level regional. Jadi laga ini ibarat ujian tengah semester. Kalau Indonesia menang, ranking bisa naik, mental juga terangkat. Tapi kalau kalah, ya siap-siap jadi bulan-bulanan netizen yang sudah kenyang dengan janji manis pembangunan Timnas.
Duel Indonesia melawan Libanon bukan hanya soal siapa lebih kuat. Ini juga soal gengsi regional. Asia Tenggara sering dipandang sebelah mata oleh negara-negara Asia Barat. Bagi Libanon, menang lawan Indonesia mungkin dianggap biasa saja. Tapi bagi Garuda, menekuk Lebanon akan jadi sinyal bahwa Asia Tenggara tidak bisa lagi dipandang enteng.
Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, sepak bola Indonesia mulai diperhitungkan. Pemain-pemain naturalisasi berdatangan, infrastruktur diperbaiki, dan atmosfer suporter makin menggila. Semua itu harusnya menjadi modal besar untuk menundukkan Libanon.