Ironisnya, pemain dengan rating tertinggi dari pihak Turki justru adalah sang kiper, Uğurcan Çakır. Sofascore memberinya nilai 7.0, meski ia kebobolan enam gol. Alasannya sederhana: ia berhasil melakukan enam kali penyelamatan gemilang.
Bayangkan, jika bukan karena Çakır, skor mungkin akan menjadi 10 atau bahkan 12-0. Ia berdiri sendirian melawan badai, sementara para pemain belakang sibuk menjadi penonton VIP.
Di bawah Çakır, Arda Güler dan Hakan Çalhanoğlu meraih rating 6,5. Tapi mari jujur: rating itu lebih karena nama besar, bukan performa di lapangan. Selebihnya, pemain Turki hanya meninggalkan catatan buruk, dengan penampilan di bawah standar yang memalukan.
Baca Juga:Cara Nonton TV, Link Streaming Turki Vs Spanyol: Duel Anak Ajaib, Arda Güler Vs Lamine YamalBaru 18 Tahun, Lamine Yamal Ngaku Ngebet Rebut Ballon d’Or 2025!
Nama Arda Güler sempat dielu-elukan sebagai simbol kebangkitan sepak bola Turki. Pemain belia yang digadang-gadang menjadi bintang dunia, digadang jadi pemimpin generasi emas baru. Tapi melawan Spanyol, Arda hanya jadi siluet di lapangan.
Bukan salah sepenuhnya Güler. Bagaimana seorang anak 19 tahun bisa menanggung beban negara yang terlalu rapuh? Ia berusaha, ia berlari, ia mencoba. Namun semua itu tak berarti ketika rekan-rekannya runtuh satu per satu seperti domino yang jatuh.
Di sisi lain, Spanyol bermain seolah tanpa keringat. Bola bergulir dari kaki ke kaki dengan ritme menghipnotis. Setiap serangan seperti tusukan belati yang menusuk jantung pertahanan Turki.
González dan Merino tampil seperti predator. Torres hanya menambah garam pada luka yang sudah menganga. Mereka tidak memberi ruang, tidak memberi jeda, bahkan tidak memberi kesempatan untuk Turki sekadar menghirup oksigen.
Inilah Spanyol: tim yang sedang naik, tim yang tahu cara memanfaatkan kelemahan lawan, dan tim yang tak punya rasa belas kasihan ketika peluang emas datang.
Kekalahan 6-0 ini akan tercatat sebagai salah satu malam paling kelam dalam sejarah sepak bola Turki. Kekalahan biasa bisa dilupakan. Tapi dipermalukan setengah lusin gol di rumah sendiri? Itu luka yang sulit disembuhkan.
Para fans yang datang dengan jersey merah kebanggaan, pulang dengan kepala tertunduk. Mereka tidak hanya menyaksikan timnya kalah, tetapi dihancurkan tanpa ampun.