Venezuela datang dengan mental runtuh. Mereka sudah terbenam di dasar klasemen, berdampingan dengan Chile yang sama-sama jadi bahan tertawaan. Kolombia justru sedang lapar, bercokol di peringkat tiga, mengejar Argentina dan Ekuador yang duduk manis di puncak klasemen.
Malam itu, Suárez bermain seakan ada dendam pribadi. Setiap sentuhannya membawa ancaman, setiap pergerakannya meninggalkan bek Venezuela seperti patung tak berdaya. Gol pertama lahir dari insting predator; gol kedua dari kejelian membaca ruang; gol ketiga menegaskan superioritas; dan gol keempat… seakan menampar seluruh negeri Venezuela yang masih percaya bisa bangkit.
Skor akhir 3-6 bukan hanya kekalahan. Itu penghinaan, sebuah trauma kolektif yang mungkin akan mereka ceritakan dengan getir kepada generasi berikutnya: bahwa suatu malam di kandang sendiri, Kolombia datang dan merampas harga diri mereka, dengan Suárez sebagai algojo utama.
Baca Juga:Sepak Bola Malam Ini! Jadwal Super Lengkap 7-8 September 2025: Duel Panas WCQ 2026 hingga Kings CupCatat! Jadwal Jerman vs Irlandia Utara WCQ 2026 Eropa Tayang Senin Dini Hari dan Link Live Streaming
Tidak mudah menjadi penerus seorang Gyökeres di Sporting. Publik Portugal tahu, penyerang Swedia itu bukan sembarang striker, ia adalah jantung permainan, mesin gol, dan simbol kekuatan klub. Saat ia pergi, banyak yang skeptis. Suárez dianggap hanya akan jadi catatan kaki.
Namun malam melawan Venezuela membalikkan narasi itu. Di pundaknya, beban suksesor terasa berat, tetapi justru beban itulah yang melecutnya untuk tampil lebih kejam. Seakan ia berkata: “Lupakan Gyökeres, sekarang ada aku.”
Venezuela mungkin hanyalah korban pertama. Dunia harus mulai memperhatikan bahwa striker berusia 27 tahun ini bukan sekadar rekrutan panik Sporting, melainkan predator yang sedang menuntaskan dendam karena terlalu lama dipandang sebelah mata.
Kekalahan 3-6 itu tidak sekadar soal skor. Venezuela kini berada di titik nadir, jadi bahan olok-olok se-Amerika Selatan. Bayangkan, publik mereka datang dengan harapan, hanya untuk menyaksikan timnya jadi lumbung gol. Mereka bukan hanya kalah, mereka dipermalukan, dipreteli, dipermainkan.
Kolombia merayakan, Suárez dielu-elukan. Di sisi lain, Venezuela larut dalam rasa malu. Sangat sulit bagi tim nasional yang sudah karut-marut untuk bangkit setelah dicincang di kandang sendiri. Malam itu, stadion mereka sendiri berubah jadi kuburan massal mimpi Piala Dunia.