Padahal, dalam kehidupan nyata, memancing sudah menjadi bagian dari budaya dan ekonomi. Di Indonesia misalnya, jutaan masyarakat pesisir menggantungkan hidup pada aktivitas menangkap ikan. Bahkan, bagi sebagian orang kota, memancing di empang atau sungai justru dianggap sarana rekreasi yang sehat.
Namun, AI tetap berpegang pada pedoman universal yang ketat. Filosofi dasarnya sederhana: lebih baik membatasi sesuatu yang mungkin diperdebatkan, daripada berisiko memunculkan konten yang bisa dianggap membahayakan.
Ketiadaan prompt memancing ini jelas meninggalkan celah besar, terutama bagi komunitas pemancing. Banyak yang sebenarnya berharap bisa membuat visual sinematik tentang momen menarik ikan dari sungai atau foto berpose dengan kakap merah besar di pinggir laut.
Baca Juga:15 Prompt Gemini Ai Foto di Puncak Gunung, Sulit Dibedakan, Realistis Banget Dari Semeru Sampai Merapi3 Prompt Ai yang Bisa Bikin Penampilan Berubah Drastis, Cocok Buat Kamu yang Pengen Tampil Beda
Seorang konten kreator asal Cirebon, Andi Riyanto misalnya, mengaku sempat frustasi ketika mencoba membuat ilustrasi pamer hasil pancingan dengan AI. “Saya sudah coba berbagai kombinasi kata, tetap saja hasilnya aneh. Kadang ikannya hilang, kadang malah muncul adegan orang sedang berdiri tanpa apa-apa. Sepertinya memang sengaja dibatasi,” ujarnya.
Akibatnya, banyak komunitas pemancing beralih membuat konten simulasi. Mereka tidak lagi meminta AI menggambarkan aksi “memancing ikan”, tetapi mengganti prompt dengan suasana pendukung, seperti “seorang pria berdiri di tepi sungai dengan latar hutan tropis” atau “perahu nelayan di tengah lautan saat matahari terbit”. Hasilnya, tetap indah, meski tanpa detail ikan di tangan.
Pertanyaan besar berikutnya: apakah larangan tidak tertulis ini akan selamanya berlaku? Sejumlah pakar AI menilai aturan ini bisa saja berubah seiring perkembangan teknologi. “Jika nanti AI bisa membedakan konteks rekreasi dan konteks berbahaya, mungkin prompt memancing akan diizinkan dengan versi yang ramah,” kata seorang pengamat teknologi.
Selain itu, ada kemungkinan pengembang akan membuka ruang untuk “konten edukasi”. Misalnya, menggambarkan proses memancing tradisional sebagai bagian dari budaya, bukan sekadar aksi menangkap ikan. Dengan pendekatan semacam ini, AI bisa tetap menghormati pedoman etika tanpa mematikan ekspresi kreator.
Pada akhirnya, absennya prompt memancing menjadi pengingat bahwa teknologi AI tidak hanya sekadar soal kemampuan teknis, tetapi juga soal nilai dan etika. Mesin bisa saja membuat gambar apa saja, namun pengembang memilih untuk menahan diri pada hal-hal tertentu demi menjaga citra ramah lingkungan dan inklusif.
