Penampilan itu menjadi salah satu momen paling emosional dalam sejarah musik modern. Tidak sedikit penonton yang menitikkan air mata, karena yang mereka lihat bukanlah bintang rock, melainkan manusia yang sedang berduka.
Lagu itu kemudian memenangkan tiga penghargaan Grammy: Song of the Year, Record of the Year, dan Best Male Pop Vocal Performance. Tapi bagi Clapton, penghargaan hanyalah catatan di atas kertas. Yang penting baginya, lagu itu telah menjadi jembatan spiritual antara dirinya dan Conor.
“Lagu itu bukan untuk dunia,” katanya suatu kali. “Itu untukku dan anakku. Tapi kalau orang lain bisa merasa terhibur, aku bersyukur.”
Baca Juga:Debut Lagu Pertama Sergio Ramos Langsung Viral, Lagu Tentang Madrid?Kenapa Lagu TikTok Sering Nempel di Kepala? Simak Fenomena Earworm
Meski “Tears in Heaven” sukses besar, Clapton sempat berhenti membawakan lagu itu di atas panggung pada awal 2000-an. Ia merasa sudah cukup kuat untuk melepaskan. “Aku sudah tidak butuh lagu itu lagi untuk berkomunikasi dengan Conor. Aku tahu dia sudah damai,” katanya lirih.
Kini, lebih dari tiga dekade kemudian, “Tears in Heaven” tetap menjadi salah satu lagu paling menyayat hati yang pernah ditulis manusia. Lagu itu tak sekadar tentang kehilangan, tapi tentang cinta yang bertahan melampaui batas kehidupan.
Setiap kali lagu itu terdengar, dunia seolah berhenti sejenak memberi ruang bagi setiap hati yang pernah kehilangan untuk berduka bersama. Dan di antara setiap baris liriknya, ada bisikan lembut dari seorang ayah yang masih memanggil nama anaknya, berharap suatu hari nanti mereka benar-benar bisa bertemu lagi… di surga.