“Yang melayani publik tetap bekerja di kantor. WFH hanya diterapkan untuk posisi yang memungkinkan tanpa mengurangi produktivitas,” kata KDM.
Artinya, petugas pelayanan publik seperti di rumah sakit, dinas perizinan, dan instansi pelayanan langsung tetap wajib hadir di kantor. Sementara ASN di bidang administrasi, perencanaan, dan teknis non-lapangan bisa bekerja dari rumah dengan target yang jelas dan hasil yang terukur.
Tak berhenti di level provinsi, KDM juga mendorong pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Jawa Barat untuk meniru langkah ini. Ia meyakini bahwa birokrasi masa depan tidak lagi diukur dari jam duduk di meja, tetapi dari seberapa cepat dan efektif pekerjaan selesai.
Baca Juga:KDM Luncurkan Program Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu – VideoKDM Minta Bupati Dan Walikota “Bebaskan” Tunggakan PBB 2024 Ke Belakang: Hadiah HUT RI ke 80!
Dengan nada setengah serius, ia menantang kepala daerah lain untuk berani keluar dari zona nyaman.
“Kalau kabupaten dan kota bisa meniru, sistem kerja ASN kita akan jauh lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan publik,” katanya.
Kebijakan WFH di lingkungan Pemprov Jabar bukan hanya soal efisiensi listrik dan air. Ini tentang menguji mental birokrat di era digital. Mampukah mereka bekerja tanpa pengawasan langsung tapi tetap berintegritas?
KDM tampaknya tahu bahwa perubahan tidak akan mudah. Tapi dengan keberanian khasnya, ia justru memilih mengguncang kenyamanan lama demi birokrasi yang lebih lincah dan efisien.
Dan jika kebijakan ini berhasil, bukan mustahil Jawa Barat akan menjadi provinsi pertama yang benar-benar menata ulang wajah birokrasi Indonesia dari yang kaku menjadi gesit, dari yang boros menjadi cerdas, dari yang lamban menjadi relevan. WFH ala KDM bukan sekadar kebijakan. Ini pernyataan keras: birokrasi harus berubah atau tertinggal.
