Pernyataan tersebut menjadi semacam jeda sunyi di tengah euforia. Negara mengakui perjuangan, tapi belum menentukan bentuknya. Negara memuji, namun masih menimbang angka. Negara bicara visi besar, tetapi detailnya menyusul belakangan.
Meski begitu, Erick menegaskan bahwa atlet peraih perak dan perunggu tetap akan mendapatkan apresiasi. “Ya perak sama perunggu dapet lah, sudah berjuang. Kan itu sebagai tabungan dan masa depan mereka juga,” katanya.
Kalimat “dapet lah” mungkin dimaksudkan untuk menenangkan, namun justru terasa satir. Karena bagi atlet, masa depan bukan soal kepastian lisan, melainkan keputusan konkret. Bonus bukan semata uang, tetapi simbol penghargaan negara atas jerih payah yang sering kali tak terlihat.
Baca Juga:Update Klasemen SEA Games 2025 Pukul 13.00 WIB: Thailand Tak Terkejar, Indonesia Kokoh di Posisi KeduaUpdate Raihan Medali Sea Games 2025, Wushu Indonesia Jadi Juara Umum Asean!
Erick juga menyampaikan visi Presiden Prabowo Subianto yang ingin serius membangun olahraga nasional berbasis data dan program jangka panjang. Sebuah visi yang ambisius dan patut diapresiasi. Namun, seperti bonus perak dan perunggu, visi besar itu juga menunggu penerjemahan teknis di lapangan.
SEA Games 2025 kembali mengajarkan satu hal klasik: Indonesia bisa cepat ketika bicara emas, tetapi cenderung berhenti sejenak ketika harus menghitung perjuangan di bawahnya. Atlet sudah bertanding, sudah menang, sudah pulang membawa medali. Pemerintah, seperti biasa, baru mulai bicara bonus setelah semuanya selesai.
Dan mungkin, di situlah letak satirnya: podium sudah lengkap, tapi angka apresiasi masih setengah jalan.
