Semester berikutnya mata pelajaran tetap tiga saja: bahasa Arab, matematika, fisika. Setelah itu, tetap tiga: bahasa Inggris, matematika, fisika.
Saya pun mengirim tim ke pesantren tersebut. Untuk belajar lebih jauh. Lebih 100 madrasah di keluarga besar kami juga ingin berubah lagi.
Apakah itu pesantren PKB?
Bukan. Guru-guru di sini boleh menjadi caleg dari partai apa saja. Bahkan, ada yang jadi caleg PDI Perjuangan. Kiai Jazuli sendiri pernah menjadi ketua PDI Perjuangan di Mesir.
Baca Juga:Ingat TomyBayar Berapa
Mengapa bikin kampanye ”yang mengaku NU wajib ber-PKB”? Sampai-sampai seperti menantang kebijakan baru Pengurus Besar NU? Yang ingin agar NU kembali ke khitah?
Ia memang punya perhitungan sendiri: warga NU itu konon mencapai 80 juta orang. Kalau sepertiganya saja memilih PKB, perolehan suara partai itu bisa yang terbesar. Bisa mencalonkan presiden. ”Masak NU yang begitu besar, perolehan kursinya hampir sama dengan PKS,” katanya suatu saat.
Padahal, Jazuli bukan pengurus PKB. Pun di daerah. Apalagi di pusat. Ia juga bukan pengurus NU. Pun yang lama. Apalagi yang baru.
Maka, tidak ada yang bisa memperingatkan Kiai Jazuli. Apalagi memecatnya. Ia bebas. Merdeka. Dari struktur mana pun juga.
Tapi, ia ingin PKB besar. Sebagai alat politik NU yang mencerminkan kebesaran NU.
Tentu Muhaimin Iskandar senyum-senyum dikulum. Ia baru saja mendapat peringatan dari PBNU –gara-gara menemui pengurus NU Cabang Banyuwangi dan Sidoarjo.
Ini memang eksperimen besar: memisahkan NU dengan PKB –dan partai mana pun.
Baca Juga:Gus MargionoImlek Pandemi
Rupanya, arti larangan politik di NU sebatas untuk partai. Nyatanya, Sekjen PBNU yang baru, Saifullah Yusuf, tetap di jabatan politiknya: wali kota Pasuruan. Dan pengurus PBNU lainnya, Khofifah Indar Parawansa, juga tetap menjabat gubernur Jatim.
NU dan politik sudah seperti air dan sirup. Bisakah jadi ibarat air dan minyak. (*)