Tapi petani pilih menaruhnya di kios, milik agen pupuk. Password-nya pun ditulis di kartu itu. “Daripada kartunya hilang, dan password-nya lupa,” ujar mereka.
Akibat perubahan sistem itu, petani sudah harus memasukkan permintaan jatah pupuknya setahun sebelumnya. Dari situ diketahui: berapa ton pupuk bersubsidi tahun depan. Pemerintah lantas menyiapkannya. Sistem ini akhirnya berjalan lancar. Tidak ada lagi kegaduhan.
Ups… Masih ada. Pembaca Disway, seminggu terakhir, terus mendesak agar saya menulis ini: terjadinya kelangkaan pupuk Sp36 dan ZA. Sampai saya lupa ulang tahun. Ternyata benar. Pupuk jenis Sp36 dan ZA sulit didapat. Di tingkat petani. Khususnya yang bersubsidi.
Saya baru bisa menduga: pemerintah sengaja mengeremnya.
Baca Juga:Telanjur PelindoKok bisa, Tes Ulang, Pemain Persebaya yang Positif versi LIB Ternyata Hasilnya Negatif
Belakangan ini biaya produksi pupuk memang naik drastis. Harga pupuk di seluruh dunia melonjak tajam. Terutama pupuk yang bahan dasarnya gas bumi. Itu terkait dengan harga gas dunia yang tidak pernah berhenti mengejar harga minyak mentah. Harga gas sekarang ini di sekitar USD 12. Naik dari sekitar USD 6.
Kalau distribusi pupuk bersubsidi tidak dikendalikan, nilai subsidi akan membengkak.
Tapi pemerintah tidak mungkin mengurangi jatah pupuk NPK dan urea. Juga organik. Maka yang harus dikurangi adalah Sp36 dan ZA. Apakah itu tidak membahayakan pertanian kita? Bisa menurunkan produksi beras kita secara nasional? Kelihatannya tidak.
Kandungan Sp36 dan ZA sudah tercakup di NPK, urea, dan organik. Khususnya untuk penanaman padi. Sp36 dan ZA memang diperlukan sebagai tambahan: khususnya untuk jenis tanah yang PH-nya tinggi. Itu tidak banyak.
Persoalannya: petani sudah terbiasa menggunakan semua itu. Mereka kurang pede tanpa Sp36 dan ZA.
Padahal sebenarnya tidak terlalu ada hubungannya dengan pertumbuhan padi maupun pembuahannya.
Mungkin sosialisasinya yang kurang berhasil.
Di masa lalu, memang terjadi jor-joran’ penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk di Indonesia termasuk tinggi di dunia: 100 ton/hektare. Per tahun. Sekitar 70 persen pupuk itu ”hilang” menguap.
Yang diserap tanaman hanya sekitar 30 persennya. Itu karena teknik pemupukan kita masih lama: disebar-sebarkan. Begitu banyak perubahan yang sudah dilakukan. Tapi masih begitu jauh untuk mencapai tahap modern.