Kedua, tujuan menegasi hak istimewa (baca: privilese) jurusan IPA memang perlu segera ditangani. Bahkan tak sedikit diskriminasi dan stereotip kepada mereka yang bukan berasal dari IPA.Mereka di luar apa kerap mendapat sandangan anak kurang cerdas, nakal-nakal, dan dan hal negatif lainnya.
Dalam soal raihan kejuaraan pun kiranya siswa IPA manakala menjuarai olimpiade sains lebih terdengar prestisius ketimbang siswa IPS menyambet medali ekonomi, sosiologi, sejarah, geografi, dlsb.
Memang, di beberapa sekolah dan pelbagai kasus, siswa IPA cenderung pendiam, lebih banyak fokus belajar alih-alih siswa IPS yang begajul. Namun, tak pantas stereotipe itu diterapkan secara merata.
Baca Juga:Memajukan Kebudayaan Desa, Program Kebijakan Inovatif Kemendikbud Dukung Kemajuan Daerah TertinggalProgram Indonesia Pintar (PIP): Mewujudkan Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Toh ada juga siswa IPS yang pendiam, kutu buku, dan lainnya, sementara anak IPA sebaliknya. Soal ini sebetulnya terletak pada sesiapa orangnya, tergantung pada pribadi siswanya. Bukan menjadikan glorofikasi semata, dan pengultusan prodi lainnya.
Serta ketiga, kefokusan siswa dalam belajar mapel tertentu sesuai rencana program studi lanjutnya memang perlu segera terlaksana. Mereka, para siswa, yang tertarik di bidang sejarah dan berencana bakal melanjutkan studi di program studi tersebut, misalnya, mesti ditekan-kembangkan lagi di setiap pertemuan kelasnya semasa SMA.
Bahwa dalam seleksi masuk perguruan tinggi terbagi menjadi dua; soshum dan saintek. Namun, muatan di dalamnya terlihat bagaimana pelbagai rumpun keilmuan dalam dua kanon jurusan dan jenis soal itu perlahan bakal terlacak dan terpahami siswa.
Bahkan dalam beberapa kebijakan terdapat diskriminasi terhadap jurusan selain IPA. Mereka tidak bisa mendaftar prodi yang termasuk rumpun keilmuan IPA. Sementara siswa IPA boleh dan bisa mengambil prodi apapun di luar rumpun keilmuannya tanpa syarat dan hambatan. Tentu ini merupakan titik kecil dari bingkai ketidakdilan dalam kanon dunia pendidikan.
Walhasil lewat penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA/sederajat, selain karena tiga alasan besar di atas, kiranya menjadi terobosan baru ihwal birokrasi pendidikan di Indonesia. Tentu, bagaimanapun juga sebuah kebijakan memiliki tenor positif juga negatif. Tinggal bagaimana kita menyikapinya sedang pemikiran yang terbuka dan lapang.