RADARCIREBON.TV – Dalam dunia sepak bola yang hiruk-pikuk, Juan Román Riquelme adalah paradoks, Ia jarang tersenyum di lapangan, tapi jutaan penggemar tersenyum setiap kali ia bermain. Ia tak berlari cepat, tak menabrak keras, tapi ia membuat bola bicara. Ia tak banyak bicara, tapi suaranya hidup dalam setiap umpan vertikal, dalam setiap bola yang digulirkan penuh percaya diri ke ruang yang hanya dia bisa lihat.
Lahir pada 24 Juni 1978, di San Fernando, Argentina, dan tumbuh besar di Villa Fiorito—kawasan kumuh yang juga melahirkan Maradona—Riquelme adalah anak sulung dari sebelas bersaudara. Ia lahir dalam kemiskinan, tapi tak pernah kekurangan mimpi.
BOCA JUNIORS adalah rumahnya. Di sanalah ia merangkak naik, dari pemain muda yang diam-diam menaklukkan sorotan, hingga menjadi ikon. Bersama Boca, Riquelme menorehkan tiga Copa Libertadores (2000, 2001, 2007), Piala Interkontinental 2000 dengan menaklukkan Real Madrid, dan empat gelar liga domestik.
Baca Juga:Kisah Mike Tyson : Dari Jalanan Brooklyn Hingga Juara Dunia yang Tak TerlupakanBuat Video Pendek, Dedi Mulyadi Sampaikan Duka Mendalam atas Tragedi Ledakan di Garut
Kemudian ia hijrah ke Eropa, ke Barcelona (2002)—klub raksasa yang justru tidak tahu cara memperlakukannya. Di bawah Louis van Gaal, Riquelme dikekang. Ia dijadikan pemain sayap—posisi yang mematikan kreativitasnya. Ia bukan pelari, ia pemikir. Konflik pun tak terhindarkan. Ia hanya bertahan semusim.
Ia menemukan rumah keduanya di Villarreal (2003–2007), klub kecil yang ia bawa terbang tinggi. Bersama pelatih Manuel Pellegrini, Riquelme nyaris membawa klub itu ke final Liga Champions 2006—gagal hanya karena tendangan penaltinya diselamatkan Jens Lehmann. Air mata tak tumpah, tapi luka itu mengendap lama.
Di Villarreal, ia bersinar tapi juga berseteru. Konfliknya dengan Pellegrini di akhir masa bakti membuatnya tersisih dari skuad utama.
Ia kembali ke Boca, dan kembali menjadi raja.
Namun kariernya tak bebas dari drama. Konflik internal menghantui hubungan personal dan profesionalnya.
Ia dikenal bersitegang dengan sejumlah nama:
Carlos Tevez, rekannya sesama ikon Boca, disebut-sebut berseteru dalam diam.
Lionel Messi, yang di awal disebut Riquelme sebagai harapan baru Argentina, belakangan dilibatkan dalam konflik internal timnas, saat ia mundur dari Albiceleste pada 2009, menyebut bahwa “ada orang-orang yang lebih berkuasa dari pelatih.
Tapi Riquelme tetap teguh. Ia menolak komersialisasi, menolak bermain demi uang, bahkan menolak bergabung dengan klub lain saat sudah merasa cukup.
Ia pernah berkata:”Saya bermain untuk teman-teman saya di kampung. Bukan untuk jutaan dolar.”
Baca Juga:Detik-Detik Ledakan Maut di Garut: Ini Rangkaian Kejadian LengkapnyaTragedi Ledakan Garut: 11 Orang Tewas dalam Pemusnahan Amunisi TNI
Ia gantung sepatu di tahun 2015 setelah sempat membela Argentinos Juniors, klub masa kecilnya, hanya untuk membawa mereka promosi.
Kini, ia menjabat sebagai wakil presiden dan tokoh utama di manajemen Boca Juniors, menjadi penentu arah klub dengan prinsip: “Sepak bola harus tetap punya hati.
Warisan Riquelme bukan sekadar trofi. Tapi filosofi.
Ia mewariskan pemahaman bahwa pemain tidak harus keras untuk jadi kuat, tidak harus cepat untuk jadi hebat.
Ia adalah lambang bahwa kejeniusan bisa muncul dari kesunyian.
Dan mungkin itulah sebabnya, dalam banyak hati penggemar Argentina, Román tidak pernah benar-benar pergi.
Ia adalah seniman yang tidak butuh panggung—karena setiap lapangan rumput adalah kanvas, dan setiap umpan adalah puisinya.