Perang Bubat: Tragedi Cinta, Kehormatan, dan Larangan Menikah Sunda – Jawa

Perang Bubat
Tragedi Perang Bubat: Kisah tragis Dyah Pitaloka dan Prabu Linggabuana yang memilih kehormatan daripada tunduk pada Majapahit. Larangan menikah Sunda-Jawa lahir dari luka sejarah.
0 Komentar

RADARCIREBON.TV – Ditanah Parahyangan yang sejuk, dalam bisik angin dan riuh gemercik sungai, ada satu larangan yang diwariskan turun-temurun:

“Ulah nyanyeri hate, ulah nyakiti karuhun. Ulah nikah ka urang Jawa.”(Jangan menyakiti hati, jangan lukai leluhur. Jangan menikah dengan orang Jawa.)

Larangan ini tak pernah tertulis dalam prasasti, tak diundangkan dalam hukum kerajaan. Namun ia hidup di ruang-ruang keluarga Sunda, disampaikan dalam bisikan para orang tua kepada anak-anaknya. Larangan itu bukan soal benci, tapi soal luka. Luka yang dalam. Luka sejarah yang meletus di sebuah tempat bernama Bubat, pada abad ke-14.

Baca Juga:Bejatnya DS, Predator Anak di Balik Seragam Tenaga Medis Rumah Sakit CirebonPresiden Prabowo Tiba di Bangkok: Diplomasi, Kehormatan, dan Bukan Misi Basa – Basi

Pada abad ke-14, dua kerajaan besar berdiri gagah di Pulau Jawa: Majapahit di timur dan Kerajaan Sunda di barat. Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, Majapahit telah menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan yang meluas hingga ke luar Nusantara. Di sisi lain, Kerajaan Sunda yang diperintah Prabu Maharaja Linggabuana juga tak kalah kuat dan makmur, menjunjung tinggi adat, kehormatan, dan kemandirian.

Namun, seiring ambisi Gajah Mada, sang Mahapatih Majapahit, yang bersumpah menyatukan seluruh Nusantara melalui Sumpah Palapa, bayang-bayang konflik tak terelakkan.

Cinta yang Bersemi: Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk

Untuk menjalin ikatan damai dan mempererat hubungan antara dua kerajaan, Hayam Wuruk memutuskan untuk meminang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri tunggal Prabu Linggabuana yang terkenal karena kecantikannya, kelembutannya, dan kecerdasannya.

Lamaran ini diterima dengan suka cita oleh Kerajaan Sunda. Bukan hanya soal pernikahan, ini juga simbol persaudaraan antarkerajaan, yang dianggap akan membawa kedamaian besar di tanah Jawa.

Perjalanan Menuju Majapahit: Harapan yang Dibawa

Dengan niat mulia dan kebanggaan sebagai kerajaan merdeka, rombongan Sunda dipimpin langsung oleh Prabu Linggabuana dan Permaisuri Dewi Lara Linsing, beserta Dyah Pitaloka dan para punggawa kerajaan.

Mereka menempuh perjalanan jauh dari Pakuan menuju Trowulan, ibu kota Majapahit, tanpa membawa pasukan perang, hanya pengawal pribadi, karena mereka datang sebagai tamu terhormat.

Namun, sesampainya di Alun-Alun Bubat, di utara kompleks kerajaan Majapahit, rombongan tidak langsung disambut oleh Hayam Wuruk. Mereka menunggu, dan di sanalah awal dari perubahan takdir terjadi.

Intrik dan Ambisi Gajah Mada

Baca Juga:OJK Dorong Penguatan Pembiayaan Ekosistem Industri Tekstil dan Produk Tekstil NasionalDuo Covid Tinggalkan Persib: Era Baru Tanpa Ciro Alves dan David da Silva

Gajah Mada, sang Mahapatih, memiliki rencana berbeda. Ia tidak melihat pernikahan ini sebagai hubungan cinta atau diplomasi sejajar. Bagi Gajah Mada, ini adalah kesempatan menundukkan Kerajaan Sunda sebagai bagian dari pelaksanaan Sumpah Palapa.

Ia menyampaikan kepada Hayam Wuruk bahwa pengantin perempuan akan dibawa masuk ke istana sebagai persembahan politik, bukan sebagai pasangan sejajar. Artinya, Dyah Pitaloka akan menjadi simbol kekalahan Sunda dan tanda bahwa kerajaannya tunduk pada Majapahit.

Hayam Wuruk, yang semula berniat tulus, menjadi ragu dan membiarkan keputusan ini digiring oleh pengaruh Patih Gajah Mada.

Penolakan Kehormatan Sunda

Ketika kabar ini sampai ke Prabu Linggabuana, amukan dan luka harga diri meledak. Sebagai raja yang datang dengan niat baik, ia tidak menerima jika anaknya diperlakukan sebagai tanda penyerahan diri.

Ia berkata tegas:

“Kami datang membawa cinta dan kehormatan. Jika kalian menolaknya, kami akan kembali. Tapi jangan hinakan darah kami!”

Namun Gajah Mada bersikeras. Ketegangan memuncak.

Perang Bubat: Pertumpahan Darah di Tanah Tamu

Di pagi yang muram itu, pasukan Majapahit mengepung Alun-Alun Bubat. Rombongan Sunda yang tidak siap tempur, dikepung dan dipaksa melawan dengan senjata seadanya.

Prabu Linggabuana dan para pengawal gagah berani bertempur habis-habisan mempertahankan kehormatan mereka. Pertempuran tidak seimbang. Seorang demi seorang pahlawan Sunda gugur dengan darah di tubuh dan tanah yang asing.

Sampai akhirnya, Prabu Linggabuana sendiri terpukul tebasan terakhir, menghembuskan napas di tengah ladang kehinaan yang ditolak.

Keputusan Tragis Sang Putri

Dyah Pitaloka melihat ayahnya, ibunya, para paman, dan pengawal tewas demi dirinya. Ia tahu, kini tak ada yang bisa menyelamatkan martabat Sunda selain pengorbanan diri.

Dalam kesunyian dan luka batin yang tak terhingga, ia menarik keris ayahnya dan menusuk dirinya sendiri. Sebagian versi mengatakan ia menceburkan diri ke sumur. Yang pasti, Dyah Pitaloka memilih mati daripada menjadi alat politik.

Duka dan Kutukan Sejarah

Peristiwa ini menjadi aib besar bagi Hayam Wuruk. Sang raja dikisahkan sangat berduka dan menyesal, namun semuanya sudah terlambat. Ia tidak bisa lagi mencintai Dyah Pitaloka karena sang putri telah memilih kehormatan di atas cinta.

Gajah Mada tak menerima hukuman, tapi sejak saat itu, kepercayaan terhadapnya menurun, dan banyak bangsawan Majapahit menjauh darinya.

Sejak Perang Bubat, hubungan antara Sunda dan Jawa membeku. Di kalangan masyarakat Sunda, lahirlah larangan tak tertulis:

“Orang Sunda jangan menikah dengan orang Jawa.”

Larangan ini diwariskan turun-temurun, bukan karena kebencian, tetapi karena luka sejarah yang terlalu dalam untuk dihapuskan begitu saja.

Warisan Perang Bubat

Perang Bubat bukan hanya perang, tapi tragedi cinta dan kehormatan yang berubah menjadi dendam sejarah.

Dyah Pitaloka dikenang sebagai lambang keberanian perempuan Sunda.

Prabu Linggabuana menjadi raja yang gugur demi harga diri bangsanya.

Gajah Mada, sang patriot besar, dikenang pula sebagai penyebab luka Sunda.

Hayam Wuruk, raja besar Majapahit, menjadi sosok tragis yang gagal memilih cinta atas kekuasaan.

0 Komentar