RADARCIREBON.TV – Indonesia kini sedang geger dengan gebrakan baru dari Kopdes Merah Putih. Bayangkan, setiap koperasi desa dibekali plafon pinjaman Rp sampai dengan 3 miliar dari bank-bank besar Himbara.
Total? Rp 240 triliun! Sebuah angka yang bikin pusing kepala, terutama buat koperasi yang biasanya cuma jualan telur dan beras.
Ya, angkan ini dihitung dari target 80.000 kopdes bisa terbentuk sebagaimana yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pangan sekaligus sosok sentral di balik program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih), Zulkifli Hasan, dengan tegas menyatakan bahwa setiap koperasi desa akan mendapatkan “plafon pinjaman” sebesar Rp 3 miliar dari bank-bank anggota Himbara.
Baca Juga:Blusukan Demi Data: Dari Sampah ke Jalan Berlubang, Semuanya DicatatAuto Masuk Timnas E-sport! Ini Cara Jadi Jagoan Mobile Legends Tanpa Cheat
Dana segede itu—yang totalnya menembus angka Rp 240 triliun—bukanlah dana hibah atau sumbangan dari APBN, melainkan “pinjaman bisnis murni” yang harus dilunasi dalam enam tahun ke depan.
Dengan target membentuk 80.000 koperasi yang tersebar di seluruh Indonesia, program ini merupakan eksperimen ekonomi desa terbesar yang pernah dilakukan. Jika sukses, bisa jadi motor penggerak ekonomi baru yang menguatkan sektor pangan dan distribusi di pelosok negeri.
Namun, jika gagal, risiko kredit macet massal dan runtuhnya koperasi menjadi beban perbankan milik negara, yang ujung-ujungnya bisa berimbas pada perekonomian mikro di desa-desa.
Menteri Zulkifli mengatakan pesan dengan penuh semangat: “Ini adalah langkah berani dan tantangan besar. Kita percaya koperasi desa bisa jadi ujung tombak ekonomi rakyat, asalkan dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab.”
Dengan bunga yang dipatok sekitar 7% per tahun, setiap koperasi yang beruntung mendapat plafon penuh harus menyiapkan cicilan tahunan sekitar Rp 629 juta. Itu artinya, selama enam tahun, total pembayaran mencapai hampir Rp 3,8 miliar—lebih besar dari pinjaman pokoknya.
Bayangkan sebuah koperasi desa yang selama ini hanya mengelola usaha sembako dan pupuk, harus tiba-tiba berubah jadi perusahaan besar dengan target omzet miliaran, sambil memikul beban cicilan yang bisa bikin kantong bocor. Kalau strategi bisnis gagal? Jangan berharap dana itu hilang begitu saja. Bank akan segera menindak dengan ketat—dari pengiriman surat tagihan sampai langkah hukum.
Menteri Zulkifli menegaskan, “Kami sudah menyiapkan mekanisme pendampingan dan pelatihan agar koperasi mampu menjalankan usahanya secara sehat. Tapi pada akhirnya, yang bertanggung jawab adalah pengurus koperasi dan anggota.”
Pemerintah Siapkan ‘Jaring Pengaman’ tapi Bukan Dana Hibah
Baca Juga:Dari Seragam Militer ke Seragam Penjara: Iwan Sritex dan Uang yang Tak Pernah CukupSritex : Saat Benang Indonesia Menjahit Dunia
Ketika ditanya soal risiko gagal bayar, Menteri yang kerap disapa Zulhas ini dengan gamblang menyatakan bahwa pemerintah hanya menyediakan pendampingan teknis dan mungkin restrukturisasi pinjaman. Namun, dana hibah atau subsidi langsung untuk menutup kredit macet tidak disiapkan.
“Kalau koperasi gagal bayar, kita bantu lewat pelatihan dan perbaikan manajemen. Tapi untuk dana, ini adalah pinjaman, bukan dana bantuan sosial,” tegas Zulhas.
Lebih jauh, pembentukan koperasi pun tidak semudah membalik telapak tangan. Setiap desa harus menyelenggarakan Musyawarah Desa Khusus, membuat akta koperasi melalui notaris dengan biaya sekitar Rp 2,5 juta, dan mendaftarkan koperasi secara resmi. Biaya notaris ini ditanggung dari APBD, bukan APBN, supaya anggaran pusat tetap bersih dari tuduhan “modal gratis”.
Lalu bagaimana cicilannya, ini rupanya kalau plafon penuh masuk kedalam
Cicilan Raksasa, Tahan Napas Koperasi!
Dengan bunga sekitar 5 – 7% dan cicilan tahunan hampir Rp 630 juta, koperasi harus pintar-pintar berbisnis. Kalau gagal bayar? Waduh, siap-siap koperasi dibubarin, anggota pusing tujuh keliling,
Kalau nasibnya sudah “macet”, bank langsung datang bawa setumpuk surat tagihan dan jaket hitam bertuliskan “Penagih Utang Profesional”.
Pemerintah? Siap Jadi Penonton atau Sutradara?
Tenang, pemerintah sudah siapkan “pertolongan pertama”: bisa saja cicilan ditunda atau bunga diringankan, asal koperasi bisa janji nggak ngulangin. Katanya sih, ada pelatihan manajemen bisnis.
Tapi bagi yang nggak kuat, siap-siap jadi bagian dari “kisah sedih koperasi yang hilang di tengah jalan”.
Sejauh ini, banyak yang berharap program ini jadi “sumber berkah desa”. Tapi jangan lupa, Rp 3 miliar itu bukan duit gratisan, melainkan “utang gede” yang harus dibayar.
Kalau sukses, desa makmur. Kalau gagal, ya bawa bekal air mata dan kopi pahit tiap rapat anggota.
Lebih jauh, pembentukan koperasi pun tidak semudah membalik telapak tangan. Setiap desa harus menyelenggarakan Musyawarah Desa Khusus, membuat akta koperasi melalui notaris dengan biaya sekitar Rp 2,5 juta, dan mendaftarkan koperasi secara resmi. Biaya notaris ini ditanggung dari APBD, bukan APBN, supaya anggaran pusat tetap bersih dari tuduhan “modal gratis”.
Program ini tentu merupakan eksperimen ekonomi desa terbesar yang pernah dilakukan. Jika sukses, bisa jadi motor penggerak ekonomi baru yang menguatkan sektor pangan dan distribusi di pelosok negeri.
Namun, jika gagal, risiko kredit macet massal dan runtuhnya koperasi menjadi beban perbankan milik negara, yang ujung-ujungnya bisa berimbas pada perekonomian mikro di desa-desa.
Di balik angka fantastis dan jargon bisnis “profesional”, Kopdes Merah Putih menghadirkan dilema klasik: antara impian besar dan kenyataan berat di lapangan. Sementara menteri tegas menyebut ini pinjaman bisnis, jangan lupa, koperasi desa bukanlah startup Silicon Valley yang mudah mencari investor dan modal ventura. Mari kita lihat, siapa yang akan bertahan dan siapa yang akhirnya harus “berdamai” dengan cicilan yang tak berujung.