RADARCIREBON.TV – Di pinggiran Ankara, kota administratif yang lebih sering disebut dalam berita politik ketimbang sepak bola, lahirlah seorang anak laki-laki yang tak banyak bicara. Tubuhnya kurus, suaranya pelan. Tapi ketika bola menyentuh kaki kirinya, suara sunyi itu berubah menjadi gema. Namanya Arda Güler.
Ayahnya bekerja sebagai teknisi listrik, ibunya ibu rumah tangga. Tidak ada silsilah atlet, tidak ada sponsor besar. Yang ada hanya tekad dan cinta: pada bola, pada mimpi.
Dan seperti banyak kisah besar lain: semuanya bermula di lapangan tanah, bukan stadion megah.
Dari Lorong Sempit Menuju Liga Elit
Baca Juga:Ketika Desa Tonjong Kejatuhan Durian Sepohon-pohonnya:Dikunjungi Gubernur, Diguyur 20 Miliar Tahun IniBambang Mujiarto: Qurban Idul Adha dan Semangat Gotong Royong Bung Karno yang Terus Hidup
Arda kecil mulai dikenal di lingkungan karena sesuatu yang sederhana: dia tidak pernah mau lepas dari bola. Bahkan di lorong sempit apartemen tua, ia terus menggiring dan mengumpan ke dinding berulang-ulang—seperti sedang berlatih melawan waktu.
Bakatnya pertama kali terlihat serius saat ia bermain untuk akademi Gençlerbirliği, klub kecil Ankara. Pelatihnya saat itu berkata, “Anak ini tak hanya bermain. Ia memahami bola. Itu hal yang langka.”
Tapi kemampuan teknis saja tak cukup di Turki, di mana birokrasi dan koneksi sering lebih menentukan daripada bakat. Untungnya, Arda tak menyerah.
Fenerbahçe: Dimulainya Gemuruh
Pada usia 13, Arda direkrut oleh Fenerbahçe, salah satu klub besar di Istanbul. Tapi jangan bayangkan sambutan karpet merah. Ia harus membuktikan diri di antara puluhan remaja berbakat lainnya. Dan ia melampaui mereka semua.
Saat berusia 16 tahun, ia mencatat debut di tim utama. Bukan hanya tampil—tapi mendominasi. Dalam waktu singkat, ia jadi favorit fans. Media menyebutnya “Messi dari Ankara”, meski Arda sendiri justru menjauhi segala bentuk kemewahan nama itu.
“Saya bukan Messi. Saya hanya Arda, dan itu cukup,” katanya saat diwawancarai.
Ia mencetak gol-gol indah, mengarsiteki permainan, dan menjadi cahaya di tim yang kerap dilanda krisis.
Madrid: Pilihan yang Tak Semua Anak Umur 18 Berani Ambil