Rp11,8 Triliun Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi: Sebait Uang, Segunung Luka dari Emas Cair Indonesia

Penampakan 11 triliun kasus korupsi korporasi
Kejagung menunjukan tumpukan uang 11 triliun hasil dari kasus korupsi CPO Foto : tangkap layar TV One
0 Komentar

RADARCIREBON.TV – Di negeri yang kadang lebih hafal angka ketimbang nurani, Rp11,8 triliun kembali ke kas negara. Bukan hasil panen padi atau ledakan ekspor digital, tapi dari perkara lama yang mengendap: korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO), minyak sawit mentah, komoditas emas cair yang dulu menghidupi banyak, tapi kini justru menenggelamkan kepercayaan.

Uang itu diserahkan oleh lima anak perusahaan Wilmar Group. Mereka tak bicara lewat permintaan maaf di depan kamera. Tidak juga melalui sidang yang penuh pengakuan. Mereka membayar—dalam diam, dalam angka.

Dan angka itu tak main-main: Rp11.880.351.802.619.

Cukup untuk membangun ratusan sekolah, memperbaiki ribuan jembatan, atau menyejahterakan satu provinsi kecil—jika sungguh digunakan.

Lima nama perusahaan tercantum jelas:

PT Multimas Nabati Asahan

PT Multi Nabati Sulawesi

PT Sinar Alam Permai

PT Wilmar Bioenergi Indonesia

PT Wilmar Nabati Indonesia

Baca Juga:Presiden Terpilih Diharapkan Jadi Panglima Pemberantasan Mafia Pertambangan, Perkebunan Sawit, dan DeforestasiKejagung Periksa Nadiem Makarim Kasus Dugaan Korupsi Chromebook di Kemendikbudristek

Tak asing. Mereka bagian dari jaringan raksasa industri sawit, urat nadi ekspor, mesin uang korporasi. Mereka jugalah yang—dalam putusan hukum—terbukti menerima fasilitas ekspor secara istimewa, saat rakyat antre minyak goreng dari subuh hingga siang.

Tahun 2021–2022 menjadi panggung keprihatinan. Di pasar-pasar, minyak goreng menghilang seperti kabut pagi. Tapi di pelabuhan, ekspor tetap berjalan bagai arus pasang—lancar, tanpa hambatan.

Negara disebut menderita kerugian hingga Rp6 triliun. Perekonomian disebut merugi Rp12,3 triliun. Tapi barangkali, kerugian moral jauh lebih besar: ketika hukum berbelok, dan rakyat dipaksa percaya bahwa semua ini biasa saja.

Yang lebih menyayat, kasus ini sempat divonis lepas. Majelis hakim Tipikor Jakarta Pusat membebaskan korporasi. Publik pun menggugat dalam hati—apa hukum sebegitu mudah dibengkokkan? Dugaan suap kepada tiga hakim pun mencuat, seperti noda yang sulit dihapus dari lembar pengadilan.

Kini Kejaksaan Agung melawan waktu. Mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, seperti menyalakan kembali lentera harapan di lorong keadilan yang lama temaram.

Tapi akankah uang sebesar itu benar-benar menyembuhkan?

Ataukah hanya menambal luka di permukaan, sementara akar persoalan terus tumbuh di dalam tanah, menyubur tanpa pengawasan?

Rp11,8 triliun memang kembali. Tapi seperti hujan deras yang turun di tanah retak, kita tahu: tidak semua air meresap. Sebagian mengalir entah ke mana.

Baca Juga:Kejagung Targetkan Kejaksaan Di Daerah Bisa Terapkan Sistem CMSKejagung Ungkap Kepemilikan Kendaraan Mewah Atas Kasus Korupsi Timah Oleh Harvey Moeis

Dan rakyat, seperti biasa, hanya berharap: semoga uang itu tidak kembali jadi angka bisu dalam laporan, melainkan benar-benar menjadi wujud tanggung jawab—bukan hanya dari pelaku, tapi juga dari mereka yang diberi amanah menjaga.

0 Komentar