Dari Peringatan 29 Tahun Kudatuli: Ketika Darah Tumpah Demi Demokrasi, Kini Rakyat Dibajak Demi Kekuasaan!!

PDi Perjuangan
PDi Perjuangan peringati kuda tuli Foto : Ig PDI Perjuangan
0 Komentar

RADARCIREBON.TV — Dua puluh sembilan tahun telah berlalu sejak tragedi 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai Peristiwa Kudatuli, namun luka sejarah itu masih membekas dalam memori politik Indonesia. Bagi PDI Perjuangan, ini bukan sekadar peringatan. Ini adalah pengingat keras bahwa demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa, kini justru dikotori oleh politik transaksional dan pengkhianatan terhadap rakyat.

Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, dalam acara peringatan Kudatuli di kantor pusat partai di Jakarta, Minggu (27/7/2025), melontarkan kritik tajam terhadap wajah demokrasi hari ini. Baginya, demokrasi yang dahulu diperjuangkan untuk rakyat, kini berbalik menjadikan rakyat sebagai komoditas politik.

“Peristiwa 27 Juli adalah tonggak demokrasi, tetapi kita perlu bertanya: demokrasi untuk rakyat, atau rakyat untuk demokrasi?” tegas Djarot.

Baca Juga:Kader PDIP Nyaris Kepung PN Majalengka – VideoPDIP Jaga Kondusivitas Di Tengah Kasus Hamzah – Video

Di hadapan kader partai, aktivis, dan para penyintas peristiwa Kudatuli, Djarot menilai arah demokrasi Indonesia telah melenceng dari cita-cita para pendiri bangsa. Ia menuding praktik kekuasaan kini tak segan mencatut nama rakyat, bahkan membajak suara mereka, hanya demi melanggengkan elit tertentu di tampuk kekuasaan.

“Rakyat dibeli, dicatut, dibajak. Demokrasi menjadi panggung jual-beli kekuasaan, bukan lagi alat untuk menyejahterakan rakyat kecil,” ujarnya dengan suara yang meninggi.

Djarot tidak menahan kritik. Ia menyentil keras elite politik yang merasa revolusi sudah usai hanya karena mereka telah berada di zona nyaman. Padahal, menurutnya, penderitaan rakyat masih nyata: kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan struktural tetap menjadi pemandangan sehari-hari.

Mengutip Bung Karno, Djarot menyatakan revolusi Indonesia belum selesai. Revolusi sejati, menurutnya, baru akan tuntas ketika masyarakat Indonesia benar-benar adil, makmur, dan terbebas dari kemiskinan. Ia pun mempertanyakan: apakah bangsa ini hendak diarahkan ke masyarakat yang kapitalistik dan mengorbankan nilai-nilai kerakyatan?

“Kalau revolusi sudah selesai, mengapa kemiskinan masih merajalela? Mengapa suara rakyat masih bisa dibeli? Jangan-jangan kita sedang dibawa ke arah yang berlawanan dari apa yang dicita-citakan Bung Karno,” katanya tajam.

Bagi Djarot, peristiwa Kudatuli bukan hanya sejarah kelam, melainkan momentum kebangkitan rakyat. Ia sendiri menyebut perjuangan 27 Juli sebagai pijakan awal dalam karier politiknya. Dari situ, jalan politiknya terbuka hingga menjadi Wali Kota Blitar, Wakil Gubernur DKI Jakarta, dan bahkan Gubernur.

0 Komentar