RADARCIREBON.TV – Stamford Bridge, 6 Oktober 2022. Malam di mana AC Milan dibantai hidup-hidup oleh Chelsea dengan skor 3-0. Sebuah malam yang layak masuk buku sejarah “penghinaan Eropa” untuk Rossoneri. Fofana, Aubameyang, dan Reece James mencetak gol seolah-olah mereka sedang latihan ringan melawan tim junior, bukan melawan juara Serie A.
AC Milan menguasai 55 persen bola waktu itu, tapi penguasaan bola tidak ada artinya kalau yang dikuasai cuma rasa malu. Stefano Pioli berdiri di pinggir lapangan seperti sedang menunggu kereta yang tak kunjung datang, sementara pemainnya seperti bingung apakah ini Liga Champions atau turnamen amal.
Tiga tahun berselang, Milan kembali ke Stamford Bridge. Tapi kali ini mereka datang dengan bumbu drama: Luka Modric. Ya, Luka yang di usia 39 tahun masih dijual sebagai “solusi” untuk trauma masa lalu. Luka, sang peraih Ballon d’Or, yang baru saja meninggalkan Real Madrid demi tantangan baru… atau mungkin demi nostalgia masa-masa ketika sepak bola masih sederhana dan pemain tak diukur hanya dari kecepatan sprint.
Baca Juga:Inilah Pemain Andalan Chelsea Vs AC Milan, Siapa Lebih Tajam? Analisis Daya SerangDUEL RAKSASA! Chelsea vs AC Milan: Siapa Raja Eropa Malam Ini?
Masalahnya, Chelsea sekarang bukan Chelsea yang kelelahan atau bingung mencari jati diri. Mereka adalah juara Piala Dunia Antarklub 2025. Dan juara itu bukan sembarang juara, mereka menghajar PSG dengan skor mencolok yang bikin bintang-bintang Paris berpikir ulang soal karier mereka. Cole Palmer memimpin lini tengah seperti dirigen orkestra, mengatur tempo, membagi umpan, dan membunuh lawan dengan senyum tipis. Prediksi skornya 3-1 untuk keunggulan Chelsea.
Bayangkan saja, Luka Modric yang sudah veteran harus berduel stamina dengan anak-anak muda Chelsea yang berlari seperti dikejar cicilan rumah. Ini seperti meminta kakek berlari maraton melawan tim atlet olimpiade, penuh respek, tapi kita semua tahu siapa yang bakal kehabisan napas duluan.
Chelsea juga punya keuntungan bermain di kandang. Stamford Bridge sudah seperti benteng anti-invasi, tempat di mana banyak tim besar datang dengan penuh percaya diri lalu pulang sambil mencari alasan klise di konferensi pers. “Kami kurang beruntung,” kata mereka, padahal kenyataannya mereka memang kalah kelas.