RADARCIREBON.TV – Final Community Shield antara Crystal Palace dan Liverpool seharusnya hanya menjadi panggung duel dua tim papan atas Inggris. Tapi entah kenapa, di sudut lain stadion, ada satu klub yang tidak bermain namun ikut merasakan sakitnya kekalahan. Namanya: Manchester United.
Ya, Setan Merah tidak bertanding, tapi reputasinya kena hantam. Semua gara-gara Dean Henderson, kiper yang mereka besarkan, mereka latih, mereka banggakan… lalu mereka buang begitu saja seperti kaset CD lama yang sudah tergores.
Henderson adalah produk murni akademi MU. Bersinar saat dipinjamkan ke Sheffield United, ia membuktikan bisa jadi tembok tebal di bawah mistar. Namun, begitu kembali ke Old Trafford, bukannya diberi kesempatan, ia malah dijadikan dekorasi mewah di bangku cadangan. Yang lebih ironis, Henderson sendiri pernah bilang kalau diparkir tanpa alasan jelas adalah tindakan “kriminal” dan sulit membantahnya.
Baca Juga:Ngeri!! Klub Milik Orang Indonesia dan dilatih Mantan Legenda Barcelona, Dicukur Barcelona 5 Gol Tanpa Balas!Ronaldo Banting Tulang Cetak Dua Gol! Al Nassr Masih Kalah Lawan Almeria 3-2!
MU, dengan segala kemewahannya, punya hobi unik: menghamburkan uang untuk kiper baru yang “katanya” kelas dunia. Lupakan soal pemain yang sudah teruji. Lebih seru kalau keluar puluhan juta pound demi nama besar, meski akhirnya gawang tetap kebobolan cara bodoh. Skenario ini sudah jadi kebiasaan tahunan di Old Trafford, dan anehnya, tidak pernah belajar dari kesalahan.
Lihat sekarang. Henderson sudah di Crystal Palace. Dalam dua musim, dia sudah angkat dua trofi: Piala FA dan Community Shield. Di final melawan Liverpool, ia tampil bak superhero menggagalkan dua penalti lawan, membuat para pendukung Palace bersorak, dan diam-diam membuat fans MU garuk-garuk kepala.
Ironi semakin kental ketika di sisi lain Manchester United justru sedang pusing mencari kiper baru. Andre Onana, yang didatangkan dengan harga mahal, dinilai belum memenuhi ekspektasi. Penggantinya? Masih jauh dari kata meyakinkan. Sementara itu, Henderson melangkah mantap di jalannya sendiri, tanpa beban, tanpa drama.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Dari generasi ke generasi, MU tampaknya alergi mempertahankan bakat asli akademi jika ada opsi untuk mengeluarkan cek dan belanja. Seolah-olah, mempertahankan pemain sendiri tidak cukup bergengsi. Padahal, dalam sepak bola modern, stabilitas dan kepercayaan sering kali lebih berharga daripada sekadar belanja sensasional.