Sementara itu, PSG yang terbiasa memanjakan diri dengan skill individu para bintang justru terlihat kurang menggigit di kotak penalti lawan. Barisan serangan yang biasanya menakutkan malah seperti kehilangan ide begitu mendekati gawang. Mungkin mereka kaget juga melihat Tottenham tak hanya bertahan mati-matian, tapi juga punya nyali untuk menyerang balik.
Final ini baru setengah jalan, tapi babak pertama sudah memberi pelajaran: jangan remehkan tim yang datang tanpa beban. Tottenham mungkin bukan tim “super” di atas kertas, tapi di lapangan, mereka baru saja membuat PSG terlihat seperti klub yang lupa kalau sepak bola itu soal mencetak gol, bukan sekadar menguasai bola.
Jika PSG tidak segera bangkit di babak kedua, bukan tak mungkin trofi yang sudah mereka anggap “hak milik” akan melayang ke London Utara. Dan kalau itu terjadi, Lucas Chevalier mungkin akan butuh waktu lama untuk melupakan debut yang berubah jadi mimpi buruk.