“Dalam memahami berbagai pertimbangan serta apresiasi atas upaya Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menyusun Rancangan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) Tahun Anggaran 2025. Kami berkomitmen untuk memastikan keterpaduan dalam perencanaan dan penganggaran dengan pendekatan berbasis kinerja,” tutur Erwan, seolah sedang membacakan kitab suci anggaran.
Retorika seperti itu memang biasa di ruang politik: panjang, berliku, penuh istilah teknokratis, namun sulit diukur efektivitasnya bagi masyarakat akar rumput.
Pada akhirnya, APBD Perubahan 2025 tetap disahkan tanpa tanda tangan PDIP. Kursi kosong mereka berubah menjadi simbol oposisi sunyi, tapi penuh makna politik. Sebuah pengingat bahwa dalam demokrasi prosedural, kuorum lebih penting daripada konsensus.
Baca Juga:Ono Surono Bongkar Sederet Kontroversi KDM: Soal Bankeu, Bansos, Hingga Barak MiliterOno Surono Video Call KDM Sampaikan Aspirasi Warga Korban Longsor – Video
Dan publik, lagi-lagi, hanya bisa menonton sandiwara anggaran ini. Di satu sisi jargon akuntabilitas dikumandangkan, di sisi lain kepercayaan masyarakat pada proses politik terus diuji. Seolah rakyat hanya penonton pasif, sementara elite asyik memainkan bahasa anggaran yang lebih mirip kamuflase politik.
Pada babak ini, satu hal jelas: dalam politik DPRD Jabar, bahkan kursi kosong pun mampu berpolitik lebih keras daripada orasi mikrofon.