Insiden ini menorehkan luka mendalam bagi wajah demokrasi lokal. DPRD, simbol perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi tempat aspirasi disalurkan, justru dibakar oleh rakyat yang marah. Ironisnya, penghancuran itu tidak hanya menghabiskan aset negara, tetapi juga menandai betapa renggangnya jarak antara rakyat dengan wakilnya.
Tindakan massa ini, betapapun emosinya tidak bisa dibenarkan, tetap meninggalkan pertanyaan besar: di mana batas antara demonstrasi dan anarki? Perjuangan menyuarakan aspirasi berubah menjadi perusakan brutal yang menghapus fungsi lembaga pemerintahan.
Kritik terhadap kinerja wakil rakyat, baik karena kinerja maupun dugaan lainnya, seolah meledak dalam satu aksi penuh amarah. Namun, pembakaran gedung yang dibiayai oleh uang rakyat justru menambah kerugian besar bagi masyarakat itu sendiri.
Baca Juga:Breakingnews! Demonstrasi di Cirebon Ricuh: Banyak Fasilitas Rusak, Situasi Mencekam!Link Streaming, Jadwal dan Prediksi Real Madrid vs Mallorca: Tiket Madrid Menuju Puncak
Hingga berita ini diturunkan, aparat kepolisian dan TNI masih berusaha mengendalikan situasi. Namun kondisi di lapangan belum sepenuhnya terkendali. Tidak ada keterangan resmi dari kepolisian mengenai jumlah korban luka.
Pemerintah Kabupaten Cirebon juga belum mengeluarkan pernyataan resmi. Bupati dan pimpinan DPRD belum muncul di lokasi.
Pembakaran gedung DPRD ini hampir dipastikan akan menimbulkan gelombang politik baru. Namun, pada saat yang sama, pertanyaan mengenai akar persoalan, mengapa amarah rakyat sampai sedemikian membuncah, tidak boleh diabaikan.
Peristiwa hari ini bukan hanya soal gedung yang terbakar. Ia adalah peringatan keras bahwa jarak antara rakyat dan wakilnya semakin tak terbendung.
Hingga kini, bara api masih menyala di gedung DPRD. Dan dari asap hitam yang membumbung, satu pesan: kepercayaan rakyat, sekali terbakar, sulit untuk dipadamkan.