28 Terduga Pelaku Kerusuhan dan Penjarahan di Gedung DPRD Kabupaten Cirebon Ditangkap Polisi 

Kapolresta Cirebon
Polisi mengamankan 28 orang dan menetapkannya sebagai tersangka Foto :Dedi Haryadi
0 Komentar

Tak hanya DPRD dan DLH, aparat kepolisian pun kena getahnya. Pos Polisi di Sumber dan bahkan Polsek Sumber ikut dirusak. Simbol hukum yang selama ini jadi momok bagi pelanggar, malah ikut diserang dan dihajar amukan massa.

Ironisnya, ini bukan sekadar kerusuhan. Ini adalah ujian moral, ketika hukum dan demokrasi diseret jadi sasaran amukan pelaku demo anarkis. Bagaimana tidak, lembaga negara yang seharusnya dihormati justru diperlakukan layaknya musuh.

Para tersangka kini dijerat Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama terhadap barang, Pasal 363 KUHP tentang pencurian, Pasal 362 KUHP, serta UU No.1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Ancaman hukuman? Tujuh tahun penjara.

Baca Juga:Wamendagri Tinjau Gedung DPRD Kab. Cirebon Pasca Aksi Demo – VideoBegini Kondisi Gedung DPRD Kabupaten Cirebon Usai Aksi Demo

Pertanyaan yang masih menggantung: siapa sebenarnya yang mengompori kerusuhan ini? Polisi menyebut masih menyelidiki aktor intelektual. Artinya, ada kemungkinan massa hanyalah pion dalam permainan catur politik yang lebih besar.

Jika benar ada dalang, maka ia berhasil. Ia telah membuat generasi muda turun ke jalan bukan dengan idealisme, tapi dengan batu dan api.

Kerusuhan di Cirebon bukan sekadar soal rusaknya gedung DPRD. Ini adalah luka bagi demokrasi. Rakyat seolah kehilangan ruang untuk menyampaikan aspirasi secara sehat. Dewan kehilangan wibawa. Pemerintah kehilangan kontrol.

Dan anak-anak, ya anak-anak yang masih berseragam putih biru atau putih abu-abu, kehilangan arah. Mereka kini belajar bahwa menjadi “pahlawan” berarti ikut merusak. Bahwa bersuara berarti membakar.

Ketika kantor DPRD hancur, yang ikut runtuh bukan hanya bangunan fisiknya, tapi juga simbol kepercayaan publik. Kerugian Rp10 miliar bisa dihitung dengan kalkulator. Tapi kerugian moral? Tidak ada rumusnya.

Jika benar ada aktor intelektual, semoga ia segera terbongkar. Jika tidak, maka yang kita saksikan hanyalah puncak gunung es dari kemarahan sosial yang semakin hari semakin meletup. Dan yang paling menyakitkan: anak-anak sudah diajak menonton, bahkan ikut bermain, dalam panggung anarki ini.

0 Komentar