RADARCIREBON.TV – Tidak banyak anak muda dari Cirebon yang memilih jalur pendidikan hingga ke Jerman, negeri dengan tradisi riset dan teknologi kelas dunia.
Salah satunya adalah Chairy Azzadin Kurniawan, seorang pemuda kelahiran Cirebon, lulusan SMAN 2 Kota Cirebon angkatan 2017 asal Desa Sutawinangun Kedawung, yang kini menapaki jalan akademiknya di RWTH Aachen University, universitas bergengsi yang pernah mendidik dan mematangkan otak besar bangsa ini, almarhum Presiden ke-3 RI, B.J. Habibie.
Perjalanan panjangnya bermula dari bangku sekolah dasar di SD Al Azhar 3, berlanjut ke SMPN 1 Kota Cirebon, dan kemudian menjejakkan kaki di SMAN 2 Cirebon. Di usia 12 tahun, sebuah momen kecil mengubah arah hidupnya. Saat itu, orang tuanya, Asep Kurniawan dan Fety Fatimah, membawa sang anak ke Jerman dalam rangka sebuah expo.
Baca Juga:Membangun Kota Cirebon Setara, Ketua KNPI: Pentingnya Kolaborasi Dua NahkodaMantan Walikota Cirebon Dan Konsultan Pengawas Proyek Diperiksa – Video
Dari perjalanan singkat itu lahirlah rasa penasaran sekaligus tekad: suatu hari ia ingin menimba ilmu di negeri dengan sistem pendidikan yang dikenal disiplin dan terbuka itu.
Bagi banyak orang Indonesia, Jerman identik dengan pendidikan tinggi yang terjangkau. Bagi dirinya, fakta bahwa kuliah di sana disubsidi pemerintah membuat mimpi itu terasa realistis. “Kalau di Amerika, biaya per semester bisa mencapai 10 ribu dolar. Di Jerman, hanya sekitar 300–400 euro kontribusi semester. Itu sudah termasuk tiket transportasi umum seprovinsi,” ujarnya.
Namun, tantangan terbesar bukan di biaya kuliah, melainkan biaya hidup. Sewa apartemen, kebutuhan harian, hingga asuransi wajib menjadi beban yang tidak kecil.
“Sekitar 17 juta rupiah per bulan bisa habis untuk living cost. Jadi mau tidak mau harus kerja sambilan,” kenangnya.
Ia sempat menjadi barista selama dua semester, lalu mendapat kesempatan bekerja di investment bank sebelum akhirnya meraih pengalaman profesional yang lebih besar.
Jalan ke sana tidak instan. Sistem pendidikan Jerman mensyaratkan 13 tahun wajib belajar dan pra-kuliah (Studienkolleg) sebelum bisa masuk universitas. Sehingga semua pelajar dari Indonesia harus menempuh setahun lagi di Jerman untuk penyetaraan.
Ia memilih jalur Teknik Industri di RWTH Aachen dengan komposisi unik: 60 persen modul teknik, 40 persen modul ekonomi bisnis. Dari sana ia menemukan minat lain. “Nilai saya paling bagus justru di modul ekonomi bisnis. Dari situ saya mulai berpikir untuk memperdalam manajemen dan bisnis,” katanya.