“Prestasinya harus lebih baik, harus lebih dari sekarang. Kalau sekarang peringkat 22, harus jadi 15,” ujar Imron dengan nada penuh harap.
Sebuah harapan yang terdengar mulia, tapi juga klasik, sebab kalimat semacam itu sudah diucapkan setiap kali kepengurusan KONI baru dilantik.
Imron juga menyinggung pentingnya pembinaan atlet sejak dini, terutama dari jenjang sekolah dasar. “Di China itu dari sejak SD sudah dikatut untuk jadi atlet, kita harus bisa melakukan itu,” ucapnya.
Baca Juga:Jigus Terpilih Jadi Ketua Koni Kab. Cirebon Secara Aklamasi – VideoWabup Jigus Resmi Daftar Seleksi Calon Ketua Koni Kab. Cirebon – Video
Sayangnya, realitas di lapangan sering kali jauh dari pidato. Banyak sekolah dasar di Cirebon bahkan tak punya lapangan layak, apalagi pelatih tetap. Spirit pembinaan atlet usia dini sering berhenti di seminar, bukan di gelanggang.
Kini, dengan masuknya dua istri mantan bupati ke dalam struktur KONI, publik terbelah dua: antara yang optimistis dan yang sinis.
Bagi sebagian orang, keterlibatan mereka dianggap sebagai bentuk dukungan moral, pengalaman, dan jaringan yang bisa menguntungkan dunia olahraga. Tapi bagi kelompok lain, kehadiran nama-nama “elite lama” ini dianggap simbol bahwa olahraga Cirebon kembali dijadikan arena gengsi politik dan legacy keluarga pejabat.
“Cirebon ini unik. Pejabatnya boleh berganti, tapi wajah-wajah di KONI tetap sama. Hanya posisi dan gelar yang diacak ulang,” celetuk seorang pegiat olahraga lokal dengan nada getir.
Sarkasme itu tak sepenuhnya keliru. KONI seharusnya menjadi wadah profesional untuk melahirkan atlet dan prestasi, bukan tempat parkir bagi pensiunan dan kerabat elite daerah.
Namun, masih ada ruang harapan. H. Agus Kurniawan Budiman dikenal punya gaya kepemimpinan yang cukup tegas dan cenderung terbuka terhadap pembaruan. Jika ia benar-benar berani menempatkan atlet dan pelatih sebagai prioritas utama, bukan relasi politik atau jabatan, maka perubahan bukan hal mustahil.
Cirebon punya potensi besar: dari sepak bola, voli, silat, hingga cabang tradisional seperti tarung derajat dan panahan. Semua tinggal menunggu keberanian untuk melepaskan diri dari lingkaran zona nyaman dan berani berjuang untuk berprestasi.
Baca Juga:Luka yang Tak Pernah Sembuh: Kisah Tragis Eric Clapton dan Lahirnya Lagu “Tears in Heaven”HEBOH! Saldo DANA Gratis Rp202.000 Langsung Masuk ke Dompet Digital, Begini Cara Cepat Klaimnya!
Sebab olahraga bukan warisan kekuasaan. Ia bukan arena bagi kehormatan simbolik, melainkan medan untuk pembuktian. Dan pembuktian itu tidak bisa dilakukan di meja rapat atau daftar nama kehormatan.