RADARCIREBON.TV – Industri fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia masih enggan untuk fokus menyalurkan pembiayaan ke sektor produktif, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Risiko gagal bayar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor konsumtif menjadi alasan utama keengganan ini.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan bahwa tingkat pengembalian dari segmen produktif relatif rendah dibandingkan dengan sektor konsumtif. “Tingkat gagal bayar di sektor produktif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor konsumtif. Kondisi ini sejalan dengan tingkat gagal bayar pelaku UMKM di perbankan yang juga meningkat. Jadi ya bagi pinjaman daring, lebih aman menyalurkan ke sektor konsumtif,” ujarnya.
Selain itu, Nailul juga menyoroti bahwa pinjaman UMKM, termasuk yang produktif, semakin menyusut secara nasional seiring dengan pertumbuhan kredit UMKM yang melambat hingga 1,29%. Hal ini menunjukkan adanya perlambatan permintaan pembiayaan dari sisi UMKM. “Yang jelas dari sisi permintaan pembeli juga berkurang karena daya beli masyarakat melemah. Tidak ada bisnis yang meminjam pembiayaan ketika permintaan dari pembelinya berkurang drastis,” bebernya.
Baca Juga:Babak Baru Timnas: Erick Thohir Tegaskan Era Shin Tae-yong Telah UsaiVerdonk Beri Bukti: Assist Memukau Warnai Debut Gemilang di Liga Europa Meski Lille Telan Kekalahan Pahit
Dengan demikian, tantangan eksternal yang dihadapi fintech lending saat ini adalah permintaan pembiayaan yang melambat. Sementara itu, dari sisi internal perusahaan, tantangan utamanya adalah kualitas penyaluran. “Bagaimana melakukan penilaian kredit masih menjadi PR bagi perusahaan agar mendapatkan borrower yang berkualitas dan memberikan jaminan kepada lender bahwa borrower mereka berkualitas,” tegas Nailul.
Lebih jauh, Nailul menilai bahwa POJK No.19/2025 tentang kemudahan akses pembiayaan kepada UMKM tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan di fintech lending. Pasalnya, ia merasa fintech lending sudah sangat mudah dalam memberikan akses pembiayaan. “Jadi saya rasa bagi fintech lending, POJK 19/2025 tidak akan berpengaruh signifikan karena apa yang diatur sebagian sudah diadopsi oleh fintech lending seperti pengembangan metode penilaian. Fintech lending dengan sistem innovative credit scoring, sudah menerapkan hal tersebut,” pungkasnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa porsi pembiayaan fintech lending kepada sektor produktif dan/atau UMKM sebesar 33,83% dari total outstanding pembiayaan industri fintech lending. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga PVML OJK, Agusman, berharap dengan terbitnya POJK 19/2025 dapat memperluas dan mempermudah akses pembiayaan bagi pelaku UMKM. “Termasuk melalui peran aktif penyelenggara fintech lending dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, tata kelola yang baik, serta manajemen risiko yang memadai,” katanya.
