3. Krisis Kepercayaan Data: Ancaman Data Poisoning
Krisis kepercayaan data semakin nyata dengan meningkatnya serangan data poisoning yang mencemari data pelatihan AI. Organisasi perlu mengadopsi platform terpadu yang menggabungkan DSPM, AI-SPM, dan firewall AI runtime untuk memulihkan serta menjaga integritas dan kepercayaan data.
4. Risiko Hukum Baru: Tanggung Jawab Eksekutif atas AI
Risiko hukum baru muncul karena adopsi AI yang cepat dengan tingkat keamanan rendah. Hanya 6% organisasi yang matang dapat memicu gugatan hukum terkait AI. Tanggung jawab kini meluas hingga melibatkan dewan direksi, mendorong CIO menjadi mitra strategis atau bekerja sama dengan Chief AI Risk Officer.
5. Hitung Mundur Kuantum: Ancaman “Harvest Now, Decrypt Later”
Ancaman kuantum semakin mendesak. Teknik “panen sekarang, dekripsi nanti” yang dibantu AI bisa mengubah data curian menjadi risiko besar di masa depan. Estimasi waktu ancaman kuantum menyusut dari 10 tahun menjadi sekitar 3 tahun, mendorong migrasi ke kriptografi pasca-kuantum (PQC).
6. Browser sebagai Permukaan Serangan Baru
Baca Juga:Kesempatan Emas Puasa Rajab untuk Menuntaskan Qadha Ramadhan Sambil Menghasilkan Pahala SunnahRajab 1447 Hijriah: Bulan Mulia yang Bawa Balasan Pahala Tak Terkirakan dari Puasa Sunnah
Browser kini berperan sebagai platform agentik dan ‘sistem operasi’ baru perusahaan. Lonjakan trafik GenAI lebih dari 890% menjadikannya pintu masuk serangan utama. Sehingga, penerapan model keamanan cloud-native berbasis zero-trust dengan perlindungan data end-to-end hingga level browser menjadi keharusan.
Untuk Indonesia, mengantisipasi prediksi ini menjadi krusial agar AI dapat berkembang dengan aman dan mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa dikhawatirkan ancaman yang semakin kompleks.
