JAWABARAT – Penamaan gedung negara atau Kantor Gubernur Jawa Barat di wilayah Cirebon sebagai “Gedung Jaya Dewata” menuai kritik dari berbagai pihak, salah satunya datang dari Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Bambang Mujiarto, ST.
Politisi yang dikenal aktif menyuarakan aspirasi masyarakat Cirebon ini menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan nama tersebut, karena dinilai kurang tepat secara historis dan tidak mencerminkan kearifan lokal Cirebon.
Menurut Bambang, pemilihan nama sebuah gedung negara, apalagi yang akan menjadi simbol representasi pemerintahan di wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan), tidak bisa dilakukan secara sepihak atau tanpa pertimbangan sejarah yang mendalam. Ia menegaskan pentingnya melibatkan para penggiat sejarah, seniman, budayawan, serta tokoh masyarakat dalam proses penentuan nama gedung tersebut.
Baca Juga:Mitos Perkutut dan Dunia Gaib, Menyembunyikan Kekuatan Gaib? Artikel Ini yang Akan Membuat Anda Geleng-geleng!Cuma Scan Mata, Dapat Kripto? Ini Fakta Aplikasi Worldcoin! Ini Profil Pendirinya
“Penamaan Gedung Jaya Dewata tidak tepat jika kita melihat dari aspek sejarah Cirebon. Nama tersebut memang punya keterkaitan dengan Cirebon, yakni Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran, tapi kita harus ingat bahwa sejarah Cirebon memiliki entitasnya sendiri yang kuat dan khas,” ujar Bambang kepada wartawan.
Lebih lanjut, Bambang menilai bahwa keputusan untuk memakai nama “Jaya Dewata” terkesan mengabaikan identitas sejarah dan budaya lokal Cirebon yang kaya dan unik. Ia pun mengingatkan bahwa Cirebon bukan hanya bagian dari sejarah Sunda, tapi juga memiliki peran penting dalam perkembangan Islam di tanah Jawa, yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh besar seperti Sunan Gunung Jati, dan tentu saja Pangeran Cakrabuana.
“Jangan egois dan tidak melihat sejarah. Pilih nama yang merepresentasikan Cirebon, bukan hanya sekadar tokoh besar dari masa lalu yang justru lebih dekat dengan wilayah lain. Gedung negara itu simbol, dan simbol harus kuat merepresentasikan nilai, sejarah, dan karakter lokal,” tegas Bambang.
Sebagai bentuk alternatif, Bambang mengusulkan nama Cakrabuana sebagai nama yang lebih layak dan tepat untuk gedung tersebut. Menurutnya, Pangeran Cakrabuana bukan hanya tokoh sentral dalam sejarah awal berdirinya Cirebon, tetapi juga menjadi jembatan antara kekuasaan lama dan lahirnya pemerintahan yang lebih Islami dan inklusif di wilayah tersebut.
“Cakrabuana adalah figur transformatif dalam sejarah Cirebon. Ia adalah pemimpin yang merintis berdirinya pemerintahan di Cirebon, menjembatani antara Pajajaran dan Islam, serta dikenal sebagai tokoh yang adil, visioner, dan dekat dengan rakyat. Nama ini sangat cocok dijadikan simbol pemerintahan,” ujarnya.
Lebih jauh, Bambang juga mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membuka ruang dialog publik yang inklusif dalam proses penamaan ini. Ia menekankan bahwa masyarakat Cirebon berhak didengar suaranya, karena gedung tersebut akan berdiri di tanah mereka dan akan menjadi bagian dari identitas kolektif masyarakat Cirebon.
“Kita harus membuka forum diskusi yang melibatkan semua pihak—sejarawan, budayawan, tokoh agama, hingga masyarakat umum. Jangan sampai keputusan besar ini diambil tanpa partisipasi publik. Kita ingin gedung ini tidak hanya megah secara fisik, tapi juga kokoh secara makna dan nilai,” pungkasnya.
Baca Juga:Aplikasi Worldcoin Menyebar di Indonesia, Ingat Bahaya Data Biometrik BocorHerman Khaeron: Dari Anak Kampung, Sukses Menembus Kancah Nasional
Polemik penamaan Gedung Jaya Dewata ini membuka ruang perbincangan yang lebih luas soal pentingnya memperkuat identitas lokal dalam setiap aspek pembangunan, termasuk simbol-simbol negara. Bagi masyarakat Cirebon, sejarah dan budaya bukan hanya soal masa lalu, tapi juga fondasi masa depan. Dan dalam konteks ini, nama “Cakrabuana” menjadi lebih dari sekadar pilihan—ia adalah representasi jati diri. (dri)