Kisah Mike Tyson : Dari Jalanan Brooklyn Hingga Juara Dunia yang Tak Terlupakan

Mike Tyson Prime
Mike Tyson: Dari Anak Jalanan yang Terlupakan Menjadi Juara Dunia Termuda Sepanjang Sejarah
0 Komentar

RADARCIREBON .TV –Di jantung Brooklyn yang gaduh dan gelap, seorang bocah kecil tumbuh tanpa peluk, tanpa pelindung, Mike Tyson—nama yang kelak mengguncang dunia ,dulu hanya anak kurus dengan tatapan penuh amarah

dan mulut yang terbata, dicemooh dunia, dijatuhkan. Ia bukan anak yang dicari dunia. Ia belajar dari jalanan—tentang rasa lapar, tentang ancaman. Ia mencuri untuk makan, ia berkelahi untuk bertahan.

Ketika yang lain belajar membaca, ia belajar meninju. Di matanya, dunia adalah lawan yang harus dijatuhkan. Tidak banyak sosok di dunia olahraga yang perjalanan hidupnya sekompleks dan sedramatis Mike Tyson. Dari bocah jalanan penuh luka, menjadi raja tinju dunia, terjerembab dalam kejatuhan moral dan hukum, hingga akhirnya menemukan jalan pulang—bukan hanya ke dalam dirinya sendiri, tetapi kepada Tuhan. Tyson adalah bukti hidup bahwa bahkan jiwa yang paling terpuruk pun bisa diselamatkan.

Baca Juga:Buat Video Pendek, Dedi Mulyadi Sampaikan Duka Mendalam atas Tragedi Ledakan di GarutDetik-Detik Ledakan Maut di Garut: Ini Rangkaian Kejadian Lengkapnya

Mike Tyson dilahirkan pada 30 Juni 1966 di Brownsville, Brooklyn, salah satu lingkungan paling keras di New York. Sejak kecil, hidupnya dikelilingi kekerasan, kriminalitas, dan kemiskinan. Ia tidak mengenal sosok ayah dan mulai berurusan dengan hukum sejak usia sembilan tahun. Di usia 13, ia sudah ditangkap puluhan kali.

“Tak ada yang mencintai saya,” kata Tyson dalam dokumenternya. “Saya tumbuh dengan perasaan marah kepada dunia.”

Namun titik balik pertama datang ketika ia ditempatkan di sekolah pemasyarakatan dan diperkenalkan kepada tinju. Di sanalah ia bertemu Cus D’Amato—pelatih sekaligus sosok ayah pengganti yang mengasuh Tyson seperti anak kandung. Cus melihat sesuatu dalam diri Tyson yang tak dilihat orang lain: kekuatan, kecepatan, dan kehendak untuk bertahan.

Di bawah bimbingan Cus, Tyson menjadi fenomena. Pada 1986, di usia 20 tahun, ia menjadi juara dunia kelas berat termuda sepanjang sejarah. Dunia menyebutnya Iron Mike—raja KO, monster ring. Tapi di balik sorak-sorai, luka lama belum sembuh. Tyson masih haus cinta, pengakuan, dan kendali atas dirinya—sesuatu yang tinju tak bisa berikan.

Setelah Cus wafat, Tyson seakan kehilangan arah. Ia dikelilingi orang-orang yang mengurasnya, pesta pora yang tak henti, dan keputusan-keputusan buruk yang mempercepat kehancurannya. Tahun 1992, ia dijatuhi hukuman enam tahun penjara atas tuduhan pemerkosaan. Di sinilah fase kelam berubah menjadi titik balik spiritual.

Mendekap Islam di Balik Jeruji

Di balik dinding penjara, Mike Tyson bertemu dengan ketenangan yang tak pernah ia temukan sebelumnya: Islam. Dalam sunyi dan keterasingan, ia mulai membaca Al-Qur’an, berbincang dengan sesama narapidana Muslim, dan menemukan kedamaian yang mengisi kekosongan jiwanya.

Ia memeluk Islam dan mengambil nama Malik Abdul Aziz. Baginya, keimanan bukan jalan keluar, tetapi jalan kembali—kepada makna hidup, kepada Tuhan, dan kepada dirinya sendiri.

Baca Juga:Tragedi Ledakan Garut: 11 Orang Tewas dalam Pemusnahan Amunisi TNIKisah Epik Ratu Mesir, Cleopatra : Ratu Terakhir, Cinta Terakhir

“Islam memberikan saya disiplin, ketenangan, dan pemahaman bahwa saya bukan pusat dunia,” ungkap Tyson dalam wawancara dengan USA Today. “Saya adalah ciptaan, dan saya punya tanggung jawab atas kehidupan saya dan orang-orang di sekitar saya.”

Setelah keluar dari penjara, Tyson kembali ke ring, tapi dunia sudah berubah. Ia bertanding beberapa kali, namun bukan lagi dengan gairah membakar dunia. Ia mencari jati diri, namun bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Ia mengalami kebangkrutan, krisis kejiwaan, dan bahkan sempat hampir bunuh diri.

Namun Tyson tidak menyerah. Ia mulai menguliti luka-luka batinnya, memeluk terapi dan spiritualitas. Ia bahkan terbuka bicara tentang penggunaan psikedelik seperti ayahuasca dan toad venom sebagai bagian dari penyembuhan trauma—sesuatu yang ia klaim membawanya “bertemu Tuhan dalam bentuk yang penuh cinta.”

Transformasi Jiwa yang Menginspirasi

Kini, Mike Tyson bukan sekadar mantan petinju. Ia adalah tokoh publik yang disegani karena kejujurannya. Ia memiliki podcast terkenal Hotboxin’ with Mike Tyson, tempat ia berbincang mendalam tentang kehidupan, kesalahan, dan proses menjadi manusia yang lebih baik.

Ia juga tak segan tampil di panggung, membawakan pertunjukan satu orang berjudul The Undisputed Truth, membongkar sisi tergelap hidupnya dengan kejujuran yang menyentuh. Ia berbicara tentang Islam, tentang cinta, kehilangan, dan keinginan untuk menjadi ayah dan suami yang lebih baik.

Bagi Tyson, keislaman bukan hanya label. Ia telah berhaji, ia menjalani salat, dan ia mengakui bahwa tanpa keimanan, ia tak akan bisa bertahan dari kehancuran.

“Setiap orang punya nerakanya sendiri,” katanya dalam satu wawancara. “Saya pernah hidup di sana. Tapi Allah tunjukkan jalan keluar. Saya masih belajar. Saya bukan orang suci. Tapi saya mencoba.”

Mike Tyson, sang legenda tinju dunia, kini berdiri bukan karena pukulannya yang mematikan, tetapi karena keberaniannya menghadapi dirinya sendiri. Ia telah kalah dan bangkit, jatuh dan diselamatkan.

Hari ini, ia bukan lagi Iron Mike—ia adalah Malik Abdul Aziz, seorang pria yang menemukan makna di tengah reruntuhan dan cahaya di balik gelapnya masa lalu.

0 Komentar