RADARCIREBON.TV Program pendidikan karakter berbasis barak militer yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM) menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Program tersebut memiliki tujuan untuk membina anak-anak yang dianggap “nakal” dengan pendekatan disiplin ala militer.
Akan tetapi, banyak pihak mempertanyakan efektivitas dan dampak psikologis dari metode tersebut.
Baca Juga:Rayakan Lebaran dengan 4 Balutan Tradisi Khas Cirebon8 Dampak Kenaikaan BBM Bagi Masyarakat di Berbagai Sektor
Dampak psikologis bagi anak
Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai, pembinaan karakter berbasis militer untuk siswa nakal dapat memberikan stigma bagi mereka yang akhirnya malah memperparah kondisi psikologis, bukan memberikan efek jera.
“Begitu mereka balik ke sekolah, mereka akan dicap. Relasi sosial akan berubah. Mereka bisa dikucilkan. Belum lagi dampak psikologis jangka panjang kalau tidak ada pendampingan
Doni mengkritik asumsi yang digunakan dalam program ini, yakni bahwa anak-anak tersebut sudah tidak bisa dibina oleh orang tua atau sekolah, sehingga diserahkan ke militer.
Menurut dia, pihak sekolah dan orangtua ikut berperan dalam mendidik anak-anak mereka, bukan malah lepas tangan dan mengirim mereka ke barak.
“Itu pendekatan pendidikan yang keliru. Kalau anak melakukan tindak kriminal, itu ranah hukum. Tapi kalau hanya membolos, malas, atau membuat onar, itu masih ranah pendidikan,” kata Doni.
Doni pun mengingatkan, anak punya hak untuk mengungkapkan pendapatnya sebelum diikutsertakan dalam program tersebut.
Ia khawatir ada banyak anak yang tidak setuju untuk dikirim ke barak militer, tetapi dipaksakan.
Baca Juga:Keraton Kacirebonan Bangunan Bersejarah Yang Megah di Kota CirebonSejarah Keraton Kasepuhan Cirebon Beserta Peninggalan Berharganya
Pendukung program ini berpendapat bahwa pendekatan militer dapat membantu membentuk karakter anak-anak yang sebelumnya sulit diatur.
Kang Dedi Mulyadi mengklaim bahwa anak-anak yang mengikuti program ini menunjukkan perubahan positif, seperti pola tidur yang lebih teratur dan berhenti merokok.
Selain itu, banyak orang tua yang secara sukarela menitipkan anak mereka ke barak militer karena merasa kesulitan dalam mendidik mereka di rumah.
Mereka berharap bahwa metode ini dapat memberikan dampak positif bagi masa depan anak-anak mereka.
Di sisi lain, kritik terhadap program ini datang dari berbagai pihak, termasuk Anggota DPR Verrell Bramasta, yang menilai bahwa pendekatan militeristik tidak cukup untuk menyelesaikan akar masalah kenakalan remaja.
Ia berpendapat bahwa faktor psikologis, tekanan sosial, dan dinamika keluarga juga harus diperhatikan dalam pembinaan anak-anak.
Selain itu, beberapa pihak menyoroti bahwa program ini berpotensi melanggar hak anak, terutama jika mereka tidak diberikan pilihan lain selain mengikuti pendidikan di barak militer.
Kritik juga muncul terkait kurangnya aspek pendidikan akademik dalam program ini, yang membuat anak-anak lebih fokus pada kedisiplinan fisik daripada pengembangan intelektual.
Metode ini masih menjadi perdebatan langsung, apakah benar-benar efektif atau justru perlu dikaji ulang.
Hasil dari program ini akan menjadi penentu apakah pendekatan militer dapat menjadi solusi bagi kenakalan remaja di Indonesia.