Lebih jauh, pembentukan koperasi pun tidak semudah membalik telapak tangan. Setiap desa harus menyelenggarakan Musyawarah Desa Khusus, membuat akta koperasi melalui notaris dengan biaya sekitar Rp 2,5 juta, dan mendaftarkan koperasi secara resmi. Biaya notaris ini ditanggung dari APBD, bukan APBN, supaya anggaran pusat tetap bersih dari tuduhan “modal gratis”.
Program ini tentu merupakan eksperimen ekonomi desa terbesar yang pernah dilakukan. Jika sukses, bisa jadi motor penggerak ekonomi baru yang menguatkan sektor pangan dan distribusi di pelosok negeri.
Namun, jika gagal, risiko kredit macet massal dan runtuhnya koperasi menjadi beban perbankan milik negara, yang ujung-ujungnya bisa berimbas pada perekonomian mikro di desa-desa.
Baca Juga:Blusukan Demi Data: Dari Sampah ke Jalan Berlubang, Semuanya DicatatAuto Masuk Timnas E-sport! Ini Cara Jadi Jagoan Mobile Legends Tanpa Cheat
Di balik angka fantastis dan jargon bisnis “profesional”, Kopdes Merah Putih menghadirkan dilema klasik: antara impian besar dan kenyataan berat di lapangan. Sementara menteri tegas menyebut ini pinjaman bisnis, jangan lupa, koperasi desa bukanlah startup Silicon Valley yang mudah mencari investor dan modal ventura. Mari kita lihat, siapa yang akan bertahan dan siapa yang akhirnya harus “berdamai” dengan cicilan yang tak berujung.