RADARCIREBON.TV – Pemerintah Amerika Serikat kembali menuai kontroversi setelah mencabut izin Universitas Harvard untuk menerima mahasiswa internasional. Langkah mengejutkan ini diambil dengan alasan pelanggaran administratif dan ketidakpatuhan kampus terhadap permintaan data mahasiswa asing. Harvard, sebagai institusi pendidikan bergengsi dunia, merespons dengan menggugat pemerintah federal ke pengadilan.
Kebijakan ini langsung mengguncang komunitas akademik global. Dengan lebih dari 6.700 mahasiswa asing dari berbagai negara seperti Tiongkok, India, Nigeria, dan Indonesia yang saat ini menempuh pendidikan di Harvard, keputusan ini dianggap tidak hanya diskriminatif, tetapi juga destruktif terhadap reputasi Amerika Serikat sebagai pusat pendidikan tinggi internasional.
Dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Federal Massachusetts, pihak Harvard menyebut pencabutan izin ini sebagai tindakan sepihak yang tidak konstitusional. Universitas menuding pemerintah melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS, serta Undang-Undang Prosedur Administratif, dengan mengeksekusi kebijakan tanpa dialog terbuka dan dasar hukum yang memadai.
Baca Juga:Diserang Aston Villa, MU Jadi Kesatria Tanpa Mahkota: Old Trafford, Harapan yang MeredupKanjeng Dimas Bebas Bersyarat, Vonis Total 21 Tahun
“Kebijakan ini bukan soal data. Ini soal sikap anti-intelektual dan xenofobia yang tidak punya tempat di dunia akademik,” tegas Presiden Harvard Lawrence Bacow dalam pernyataan resmi.
Sebagai respons cepat, Hakim Federal Allison D. Burroughs mengeluarkan perintah penahanan sementara yang membatalkan efektivitas kebijakan hingga keputusan akhir dijatuhkan. Dalam dokumennya, hakim menyatakan bahwa larangan ini dapat menimbulkan kerugian tak terpulihkan terhadap mahasiswa, pengajar, dan reputasi institusi.
Putusan ini memberi napas bagi ribuan mahasiswa internasional, namun masa depan mereka tetap belum pasti. Sidang lanjutan dijadwalkan berlangsung pekan depan.
Kebijakan ini mendapat kecaman internasional. Pemerintah Tiongkok, India, Jerman, dan Uni Eropa menyatakan keprihatinan atas sikap pemerintahan Trump yang dinilai merusak iklim kolaborasi ilmiah global.
Beberapa mahasiswa mulai mempertimbangkan untuk pindah ke universitas di Kanada, Inggris, Australia, bahkan negara-negara Skandinavia yang dikenal lebih terbuka.
“Saya kuliah di Harvard karena percaya pada sistem meritokrasi Amerika. Tapi jika sistem itu tidak bisa melindungi saya, saya harus mencari tempat lain,” ujar Ravi Kulkarni, mahasiswa doktoral asal India di bidang Bioteknologi.
Banyak analis menduga langkah ini bermotif politik. Harvard dikenal sebagai institusi yang kerap kritis terhadap pemerintahan Trump dan menjadi pusat pemikiran progresif. Sebagian pengamat menyebut larangan ini sebagai bentuk pembalasan terhadap kampus yang dianggap “tidak patriotik” atau “terlalu liberal.”
Baca Juga:Juni Bahagia, Ada Diskon Listrik Setengah Harga, Full Senyum Penuh DayaFix Gak Masuk Akal, Main Mobile Legends di PC Tanpa Emulator, Tanpa Ribet, Tanpa Nangis
“Ini bukan tentang pelanggaran administratif. Ini tentang menghukum institusi yang tidak sejalan secara ideologis dengan pemerintah,” kata Dr. Marjorie Keller, peneliti kebijakan publik dari Georgetown University.
Krisis ini menjadi cermin bagi Amerika: apakah negara ini masih bisa menjadi tempat lahirnya kebebasan akademik dan inklusivitas, atau telah berubah menjadi benteng sempit yang menolak dunia luar?
Nasib ribuan mahasiswa, reputasi Harvard, dan kredibilitas pendidikan tinggi Amerika kini berada di persimpangan sejarah. Jawabannya bisa saja datang dari ruang sidang, atau dari suara dunia yang tidak lagi mau memilih Amerika sebagai rumah ilmunya.