RADARCIREBON.TV —Malam bergetar, udara mendidih, ribuan suara bersatu menjadi gelombang dahsyat yang menggulung seantero Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).
Dan di tengah kobaran semangat itu, sejarah pun menuliskan namanya dengan tinta emas: Indonesia 1, China 0. Mimpi China menuju Piala Dunia 2026 resmi terkubur di bawah teriakan “Garuda di Dadaku!”
Ole Romeny — nama yang kini akan dikenang selayaknya pahlawan perang — menjadi algojo tak berperasaan yang menghancurkan harapan satu negeri. Tendangan penaltinya di menit ke-43 bukan sekadar gol. Itu adalah meteor yang membelah langit Jakarta, menghantam jantung China, dan menyulut pesta kemenangan terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia modern.
Baca Juga:Fakta-fakta Desa Tonjong Pasaleman, Tempat yang Dipilih KDM Untuk Salat Ied Tahun IniIni Presiksi Susunan Pemain TImnas, Jelang Indonesia vs China: Garuda Tanpa Lima Pilar, Emil Audero Starter
SUGBK, malam itu, bukan stadion. Ia berubah menjadi neraka merah putih — medan perang tempat Garuda mengepakkan sayap dengan amarah dan keberanian. China, yang datang dengan pasukan bertabur bintang dan status favorit grup, harus menelan kenyataan pahit: mereka ditundukkan, dibungkam, dan dipulangkan oleh tim yang katanya “underdog.”
Sejak awal laga, aroma pertempuran sudah tercium tajam. Garuda tidak mundur satu inci pun. Tekanan demi tekanan digelontorkan, umpama gelombang samudra yang menggulung kapal musuh. Enam kali tembakan dilepaskan, satu mengarah tepat ke takdir: gol penalti Romeny.
Pelanggaran terhadap Ricky Kambuaya di kotak terlarang adalah titik balik. Wasit sempat ragu, tapi VAR tak bisa dibohongi. Tangan menunjuk titik putih, dan SUGBK meledak — bukan oleh petasan, tapi oleh jutaan harapan yang mendadak menyala. Romeny, dengan wajah dingin bak es Arktik, melangkah. Satu hentakan kaki, satu tembakan, satu sejarah.
Babak kedua? China mencoba bangkit. Tapi mereka sudah kehilangan nyali. Tendangan keras mereka dibalas oleh penyelamatan heroik Emil Audero, penjaga gawang yang malam itu seolah memakai jubah Superman. Benteng Garuda kokoh, dan waktu terus berdetak ke arah kehancuran mimpi China.
Hingga peluit akhir berbunyi, satu hal menjadi nyata: Indonesia tak sekadar menang. Indonesia menaklukkan.
Kemenangan Berarti Lebih dari Tiga Poin.
Ini bukan hanya soal statistik atau klasemen. Ini adalah pernyataan kepada dunia bahwa Garuda tak lagi terbang rendah. Mereka kini membumbung tinggi, menembus batas, dan siap menantang siapa pun di pentas global.
Bagi China, mimpi empat tahunan itu kandas. Dengan hanya enam poin dan satu laga tersisa, mereka tak lagi punya jalan. Tim Naga harus kembali ke sarangnya — bukan sebagai juara, melainkan sebagai kisah kegagalan.
Dari Jakarta untuk Dunia!
Baca Juga:Status Tanggap Darurat Dicabut, Operasi Pencarian Korban Longsor Gunung Kuda Resmi DihentikanKeluarga Korban Hilang Masih Penuh Harap, Minta Waktu Pencarian Korban Longsor Gunung Kuda Diperpanjang
Satu gol, satu stadion, satu bangsa bersatu. Malam itu, Indonesia menunjukkan bahwa keajaiban bukan hanya milik dongeng. Di tangan para pejuang muda Garuda, keajaiban menjadi nyata. Dan dunia? Kini tahu. Indonesia tak lagi sekadar penonton. Indonesia adalah penantang.