Lingga Nugraha, Empu Muda Pembuat Keris yang Lahir Kembali Setelah Vakum 200 Tahun

Empu Lingga Nugraha dari Cirebon
Salah satu praktisi keris, Empu Lingga Nugraha berharap generasi muda aktif untuk melestarikan kekayaan Nusantara diantaranya Keris
0 Komentar

Walaupun keris adalah senjata secara bentuk, fungsinya jauh melampaui itu. Dalam budaya Jawa dan Nusantara, keris digolongkan sebagai “tosan aji” (logam berharga), bukan sekadar senjata tempur.

“Dari sinilah empu (pembuat keris) akan membuat keris yang “selaras” dengan pemesan, baik secara pamor, bentuk, maupun energi,”bebernya.

Lingga sendiri mengaku sudah membuat beberapa keris berdasarkan metode dan cara yang digunakan oleh para pendahulu berdasarkan keilmuan yang dapat selama kuliah.

Baca Juga:Tradisi Jamasan Pusaka Pada Momen Satu Suro – VideoAmalan dan Doa Malam Satu Suro Agar Dijauhkan dari Musibah!

Ia memperlihatkan keris Dhapur Bima Kurdha yang ia buat selama 4 bulan. Dengan pamor yang dibuat dengan rujukan pakem Cirebon sekitar 500 tahun lalu.

“Jadi walaupun keris baru tapi dibuat dengan nilai-nilai pakem yang sudah ada sekitar 500 tahun lalu. Ini handlenya Buta Bajang dan werangka perahu kandas,”ungkapnya.

Nilai sebuah keris kata Lingga memang tidak ditentukan semata-mata oleh bentuknya, tetapi ditentukan oleh bahan logamnya, proses pembuatannya, tujuan atau niat spiritualnya, serta siapa empu pembuatnya.

Karena itulah “keris” memiliki kelas atau “grade” yang sangat beragam—mulai dari souvenir biasa hingga karya sakral bernilai sangat tinggi.

Nilai keris ditentukan dari beberapa hal yakni Semakin langka dan alami, semakin tinggi nilainya. Jika dari proses pembuatan jika melalui tirakat, puasa, dan teknik tempa tradisional, keris dianggap “berisi”.

Selain itu, Empu pembuatnya adalah Empu legendaris atau yang punya garis keilmuan tinggi memberi nilai spiritual ekstra.

Tujuan pembuatan, Keris pesanan pribadi untuk perlindungan, jabatan, atau wirid memiliki aura dan nilai lebih. Usia dan sejarah: Semakin tua dan punya riwayat pemilik penting (raja, bangsawan, tokoh), semakin pusaka nilainya.

Baca Juga:Pembukaan Pameran Keris Dan Bursa Tosan AjiKeris Pandawa Cinarita Miliki Panjang 70 Cm Lebih

Diterangkan Lingga, berdasarkan liteatur yang ia ketahui bahwa pada awal abad ke-19, Perang Kedongdong (diperkirakan sekitar tahun 1818–1820-an) meletus—sebuah konflik berskala lokal di Cirebon antara laskar-laskar lokal dan kekuatan kolonial Belanda serta para sekutunya.

Untuk meredam pemberontakan dan menjaga stabilitas, pemerintah kolonial melakukan kebijakan yang drastis namun fatal untuk budaya lokal:

“Semua kegiatan pembuatan senjata tradisional dilarang. Empu dilarang menempa. Bengkel besi rakyat diawasi dan ditutup. Pusaka dilarang dibawa terbuka, bahkan sebagian dirampas.

0 Komentar