RADARCIREBON.TV — Tak semua sejarah hidup dalam buku. Sebagian terpendam di lorong-lorong stadion kosong, di suara serak bobotoh tua, atau di halaman belakang rumah-rumah tua di Tegallega. Persib Bandung, klub kebanggaan Tanah Pasundan, bukan sekadar tim sepak bola. Ia adalah gema zaman, lahir dari keteguhan dan cinta yang sederhana.
Persib resmi berdiri pada 14 Maret 1933. Tapi jauh sebelum itu, benihnya sudah tumbuh dari dua perkumpulan sepak bola bumiputra: Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) dan National Voetbal Bond (NVB). Di masa kolonial, bermain bola bukan sekadar olahraga, tapi perlawanan diam-diam terhadap dominasi Belanda.
Yang jarang diketahui orang: BIVB pernah dibubarkan paksa oleh penguasa kolonial karena dianggap terlalu menyatukan massa pribumi. Stadion sederhana mereka disita, bola-bola disobek. Tapi semangat itu tidak padam. Mereka pindah, bergabung, menyatu — dan dari situlah lahir nama PERSIB: Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung.
Baca Juga:Efek Domino! Setelah 11 Pemain Hengkang, Persib Langsung Tumbang di Laga PerdanaFakta-fakta Persib Bandung Vs Thai Port FC, Persib Huni Dasar Klasemen, Wajib Menang Dilaga Lawan Dewa United
“Kami pernah bermain dalam senyap, di tanah lapang yang dibajak mata penjajah, di bawah langit Bandung yang menyimpan rahasia perjuangan.”
Tahun-tahun awal Persib penuh gejolak. Tidak ada gaji, hanya nasi bungkus dan semangat dari ibu-ibu kampung. Pemain berjalan kaki dari Dago ke Lapangan Tegallega. Kadang tanpa sepatu, hanya balutan kain di kaki. Namun, dari situ muncul nama-nama legendaris seperti Anas, Adeng Hudaya, dan Rukma yang kini terlupakan oleh generasi baru.
Pada tahun 1937, Persib menjadi salah satu klub pendiri PSSI. Kala itu markas mereka berpindah dari satu lapangan ke lapangan lain, dan ruang ganti hanya berupa bangku panjang di bawah pohon rindang. Tapi mereka berdiri sejajar dengan klub-klub seperti PSIM, Persija, dan Persebaya, menandai babak baru sepak bola nasional.
Yang lebih mengharukan, pada masa revolusi fisik 1945–1949, beberapa pemain Persib turut bergerilya. Baju Persib pernah dijadikan kamuflase untuk menyelinap melewati pos militer Belanda. Itulah mengapa, bagi warga Bandung, biru bukan sekadar warna — tapi lambang setia dan diam.
“Karena kami pernah main di malam gelap tanpa lampu,
hanya diterangi nyala tekad dari hati yang tak pernah lelah menyala.”
Kini, di tengah stadion megah dan gemuruh suporter di tribun, nama Persib dielu-elukan. Tapi sedikit yang ingat bahwa sebelum kemegahan itu, klub ini tumbuh dari jalanan berlubang, dari keringat rakyat kecil, dari mimpi-mimpi yang dikumpulkan di warung kopi.
Dan di sinilah letak kekuatan Persib: bukan hanya karena pialanya, bukan karena stadionnya, tapi karena sejarahnya ditulis oleh rakyat biasa.
Baca Juga:Persib Bandung Dipermalukan Thai Port FC 0-2 di Si Jalak Harupat, Dua Gol Jadi Mimpi BurukPersib Bandung Siap Hadapi Port FC di Laga Pembuka Piala Presiden 2025, Ini Link Streamingnya
“Persib bukan hanya klub, tapi gema langkah Bandung yang terus bergema—dari lapangan sepi hingga stadion penuh nyala.”