RADARCIREBON.TV – Bintang yang bersinar terang pada laga PSG Vs Real Madrid adalah Fabián Ruiz Peña. Pria kelahiran 3 April 1996. Di tengah sorak sorai dan tekanan yang memuncak di semifinal Piala Dunia Antarklub 2025, satu nama mencuat tanpa perlu banyak selebrasi
Ia tak mencuri perhatian lewat gestur flamboyan atau ekspresi meledak-ledak. Tapi dari setiap sentuhan bola, dari setiap gerak tubuh yang nyaris sunyi, dialah yang mengubah jalannya pertandingan.
Malam itu, Real Madrid datang dengan segala gemerlapnya—Vinícius Jr, Bellingham, dan Courtois siap jadi headline. Namun justru mantan pemain Napoli bernomor punggung 8-lah yang mencabik harapan Los Blancos.
Baca Juga:PSG Patahkan Rekor Real Madrid di Piala Dunia Antarklub, Cukur Real Madrid 4 Gol Tanpa Balas, Bersiap Hadapi CBreaking News!! Statistik Real Madrid Hancur Lebur Dihajar PSG
Fabián tidak bermain penuh 90 menit. Namun di waktu yang singkat itu, ia menulis cerita panjang: satu umpan tajam yang membuka assist, dua gol yang mematikan semangat Madrid. Bracenya ke gawang Courtois terasa seperti jawaban atas keraguan yang sempat menghampiri kariernya.
Lahir di kota kecil Los Palacios y Villafranca, Andalusia, Fabián tumbuh dalam suasana yang lebih dekat ke tanah lapangan desa daripada stadion megah Eropa. Ia bukan anak akademi elit—melainkan bocah yang memulai karier di klub lokal EF La Unión de Los Palacios.
Baru usia delapan tahun saat ia dilirik oleh Real Betis. Sejak itulah pelan-pelan, diam-diam, Fabián meniti jalan panjang. Bukan jalan cepat penuh sorotan, melainkan rute sabar—dari tim cadangan, dari pertandingan Segunda B, dari peminjaman ke Elche.
Momen penting datang saat Napoli membayar €30 juta demi jasanya. Di San Paolo, dia belajar bertahan dalam tekanan tinggi Serie A. Tapi PSG-lah yang membuatnya bersinar terang.
Lahir di kota kecil Los Palacios y Villafranca, Andalusia, Fabián tumbuh dalam suasana yang lebih dekat ke tanah lapangan desa daripada stadion megah Eropa. Ia bukan anak akademi elit—melainkan bocah yang memulai karier di klub lokal EF La Unión de Los Palacios.
Baru usia delapan tahun saat ia dilirik oleh Real Betis. Sejak itulah pelan-pelan, diam-diam, Fabián meniti jalan panjang. Bukan jalan cepat penuh sorotan, melainkan rute sabar—dari tim cadangan, dari pertandingan Segunda B, dari peminjaman ke Elche.
Momen penting datang saat Napoli membayar €30 juta demi jasanya. Di San Paolo, dia belajar bertahan dalam tekanan tinggi Serie A. Tapi PSG-lah yang membuatnya bersinar terang.
Baca Juga:PSG Ngamuk!!! Ngeri, Baru 24 Menit Real Madrid Dihajar 3-0Bedah Kekuatan Real Madrid di Piala Dunia Antarklub: Siap Hadapi PSG?
Di era pemain yang hidup di Instagram dan headline media, Fabián tetap menjadi pengecualian. Ia tidak vokal. Tidak sering jadi perbincangan fans. Tapi justru dari ketenangan itulah PSG memiliki jangkar di lini tengah. Di tengah ritme tinggi bola Eropa, Fabián hadir seperti jeda napas yang dibutuhkan.
“Dia pemain yang tidak egois,” ujar rekan setimnya. “Kalau kami menyerang, dia memastikan ruang tetap terbuka. Kalau kami tertekan, dia jadi opsi paling tenang untuk bangun ulang.
Kini, setelah malam epik melawan Madrid, nama Fabián tidak bisa lagi disembunyikan di balik statistik. Ia bukan sekadar pemain tengah. Ia adalah pembeda. Pemahat ruang. Arsitek kemenangan.
Dan bagi warga kecil Los Palacios y Villafranca yang menonton dari layar kaca di bar pinggiran kota, mungkin air mata bangga mengalir diam-diam. Anak kampung mereka, yang dulu main di lapangan tanah, kini menjungkirbalikkan raksasa Spanyol di panggung dunia.
Fabián Ruiz tidak mengubah permainan dengan kecepatan atau kekuatan. Ia mengubahnya dengan presisi, sabar, dan penghayatan. Seperti puisi yang ditulis dalam diam. Seperti simfoni yang tak perlu teriak untuk menggetarkan hati.Dan malam itu, di Paris, dunia sepak bola mendengarnya dengan jelas.