RADARCIREBON.TV – Pada akhirnya, satu per satu sinyal itu terbaca. Kejaksaan Agung resmi menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Semuanya adalah orang dalam. Bahkan, sebagian besar dekat sekali dengan lingkaran Menteri kala itu—Nadiem Anwar Makarim.
Yang jadi soal bukan hanya soal kerugian negara yang mencapai Rp 1,9 triliun, tapi juga soal idealisme yang dibungkus jargon “Merdeka Belajar” ternyata terpeleset sejak di pintu perencanaan.
Empat nama kini tercatat sebagai tersangka:
Sri Wahyuningsih (SW), Direktur SD tahun 2020–2021.
Mulyatsyah (MUL), Direktur SMP tahun 2020.
Ibrahim Arief (IBAM), konsultan perorangan perancang infrastruktur TIK.
Jurist Tan (JT), staf khusus Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Baca Juga:Ini Dia Fakta-fakta Mengejutkan Soal Anita Jacoba Gah, Anggota DPR RI yang Berani Gebrak Nadiem MakarimNadiem Makarim Tegas Putuskan Seluruh Sekolah Tidak Dapat Dana Bos Lagi
Yang paling menarik perhatian publik, tentu, bukan hanya siapa yang ditahan, melainkan siapa yang memimpin orchestra sejak intro dimainkan. Nama Mas Menteri pun disebut langsung oleh Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar.
Menurut Qohar, pembicaraan tentang proyek pengadaan Chromebook sudah berlangsung bahkan sebelum Nadiem resmi dilantik.
Pada Agustus 2019, sekelompok orang, termasuk Jurist Tan dan Fiona Handayani (stafsus), membentuk WhatsApp group dengan nama “Mas Menteri Core Team.” Nama yang barangkali terdengar seperti kelompok startup yang siap mengubah dunia, sayangnya, dunia pendidikan bukan sekadar arena uji coba ide-ide Silicon Valley.
Kelompok ini, kata Kejagung, sudah merancang pengadaan TIK bahkan sebelum Nadiem duduk di kursi menteri. Begitu dilantik Oktober 2019, roda program langsung dijalankan. Rapat-rapat daring dilakukan. Nama-nama dalam daftar tersangka hadir, menerima arahan, dan menyusun langkah. Semua mengarah ke satu produk: Chrome OS. Masalahnya, sistem operasi ini tidak optimal untuk daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), tempat di mana koneksi internet lebih jarang dari kunjungan pejabat.
“Petunjuk pelaksanaan yang dibuat para tersangka jelas mengarahkan ke produk tertentu,” ujar Qohar. Dan dari sinilah, nilai kebebasan dalam Merdeka Belajar mulai terasa sempit: anak-anak negeri hanya bisa “belajar” kalau terhubung ke internet cepat yang tak pernah benar-benar datang.