RADARCIREBON.TV – Presiden Prabowo Subianto akan “memberikan” kepada masyarakat Indonesia diskon belanja hingga 80 persen dan tarif transportasi umum Rp 80 untuk merayakan HUT ke-80 RI. Acara Pesta Rakyat juga akan digelar di Monas, yang akan diwarnai dengan kembang api, berbagai lomba, panggung hiburan, serta makanan gratis.
Sepertinya, perayaan kemerdekaan tahun ini akan berlangsung lebih meriah dibandingkan sebelumnya. Namun, di balik kegembiraan ini, muncul pertanyaan yang lebih dalam: apakah ini benar-benar perhatian serius dari pemerintah kepada masyarakat? Atau hanya sekadar upaya untuk meredam kritik yang terus berkembang?
Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat tidak tinggal diam. Masalah besar seperti konflik kepentingan di kalangan elit, kegagalan reformasi dalam birokrasi, dan ketidakstabilan harga barang kebutuhan pokok telah menarik atensi masyarakat yang mulai sadar. Di tengah tekanan ini, langkah-langkah seperti diskon dan pesta besar tampak seperti taktik lama: pengalihan isu melalui kemeriahan acara untuk masyarakat.
Baca Juga:Oxford Makin Beringas! Bagaimana Nasib Marselino?Wonderkid Indonesia yang Belum Masuk Skema Oxford UnitedPlot Twist Cedera Ole Romeny: Berkah atau Musibah untuk Timnas?
Mengapa harga TransJakarta cuma Rp 80 pada satu hari, alih-alih diperbaiki secara menyeluruh? Mengapa UMKM diberikan kesempatan tampil di satu malam acara, tetapi di hari-hari biasa masih berjuang dengan minimnya akses ke modal, pajak yang tinggi, dan dominasi pasar oleh perusahaan besar?
Masyarakat tidak dapat terus-menerus disuguhi simbol-simbol kosong. Karnaval, lomba-lomba, dan diskon mungkin menyenangkan, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Apakah pemerintah percaya rakyat akan melupakan janji-janji kampanye hanya dengan sepotong bakso gratis di tenda UMKM?
“Ini bukan hanya tentang merdeka atau tidak. Ini masalah citra,” kata seorang aktivis mahasiswa yang enggan disebutkan namanya. “Masyarakat yang kritis seharusnya lebih waspada saat negara terlalu sibuk menghibur, karena bisa jadi ada yang disembunyikan yang lebih penting. ”
Perayaan kemerdekaan seharusnya menjadi momen refleksi, apakah kita benar-benar telah merdeka dari kemiskinan, ketimpangan, dan penekanan terhadap suara kritis? Atau kita justru terjebak dalam hiburan yang menjauhkan masyarakat dari masalah yang nyata? Jika 80 tahun perjalanan bangsa ini dirayakan hanya dengan gimmick Rp 80, maka kita patut bertanya, apakah ini perayaan kemerdekaan, ataukah hanya pesta untuk menutupi kegagalan?