RADARCIREBON.TV – Kekerasan terhadap anak kembali mengguncang hati masyarakat. Seorang siswi dari SMA Negeri 1 di Mandailing Natal, Sumatera Utara, Diva Febriani (15), ditemukan meninggal dengan tragis, terkubur setengah badan tanpa pakaian di lubang galian alat berat di tengah perkebunan sawit, di Desa Teluk, Kecamatan Natal.
Remaja yang seharusnya bersiap-siap untuk menjadi Pasukan Pengibar Bendera Merah Putih justru menemui akhir yang mengerikan akibat tindakan kekerasan yang tidak manusiawi dan kejam. Pelaku pembunuhan telah ditangkap oleh pihak kepolisian setelah bersembunyi di rumah temannya di Desa Bonda Kase.
Berdasarkan informasi resmi dari Polres Mandailing Natal, motif pelaku diyakini karena ingin menguasai barang-barang milik korban. Beberapa barang milik korban, seperti sepeda motor dan ponsel, telah disita sebagai barang bukti. Namun, lebih dari sekadar pencurian, kasus ini menunjukkan masalah serius terkait kurangnya perlindungan anak, khususnya perempuan, di ruang publik yang seharusnya aman.
Baca Juga:WOW! Cek Kesehatan Gratis Jateng Capai 1/3 Target Nasional, Tertinggi se-IndonesiaPemerintah Pati Buka-bukaan: Ini Alasan PBB Naik 250%
Apakah negara benar-benar ada untuk melindungi anak-anak seperti Diva? Atau kita hanya bertindak saat jiwa sudah melayang dan jasad ditemukan di dalam tanah? Kenyataan bahwa Diva dilaporkan hilang pada 29 Juli 2025 dan baru ditemukan dua hari kemudian, terkubur tanpa busana, menunjukkan bahwa sistem pendeteksian awal terhadap kekerasan anak sangat lemah.
Kejahatan ini bukan cuma tentang pelakunya, tetapi juga cerminan dari struktur sosial yang membiarkan anak perempuan hidup dalam ketakutan yang sunyi. Ironisnya, kejadian ini berlangsung di tengah semangat nasionalisme menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Diva adalah calon anggota Paskibra, simbol harapan, disiplin, dan kebanggaan generasi muda. Namun, semangat itu musnah di tengah kebun sawit yang sepi, tempat di mana tubuhnya ditinggalkan oleh seseorang yang tega menghilangkan nyawanya.
Fakta bahwa seorang anak perempuan dapat dibunuh di area yang seharusnya diawasi oleh masyarakat membuat kita bertanya, di mana peran sosial dan perlindungan komunitas itu? Kemarahan publik yang meledak saat pelaku dibawa ke Mapolres tidak bisa dianggap sekadar reaksi emosional massa.
Ini merupakan akumulasi rasa frustrasi atas keadilan yang sering datang terlambat. Masyarakat telah banyak menyaksikan para pembunuh, pemerkosa, dan pelaku kekerasan terhadap anak dihukum dengan ringan, atau bahkan lepas dari jeratan hukum karena celah dalam sistem peradilan.