Gelapkan 2,9 Miliar Pajak Dana Desa, Empat Pendamping Desa di Kabupaten Cirebon di Tahan Kejaksaan

Pendamping desa ditahan Kejaksaan
Korupsi pajak dana desa, empat pendamping desa di Kabupaten Cirebon ditahan Kejaksaan Foto:ist
0 Komentar

Hasil audit menyingkap kerugian negara: Rp2.925.485.192. Uang sebanyak itu, jika dipakai semestinya, bisa memperbaiki jalan desa yang hancur, membangun sekolah dengan atap layak, atau sekadar memastikan Puskesmas tidak kekurangan obat.

Tapi rupanya, dalam imajinasi para pendamping ini, uang pajak jauh lebih indah jika dibagi sebagai “bonus pribadi”. Mereka sukses menyulap kewajiban rakyat menjadi ladang cuan pribadi, sementara desa tetap merana.

Lucunya, predikat mereka adalah pendamping desa. Harusnya mengawal tata kelola anggaran agar tak melenceng. Tapi realitas menunjukkan, mereka justru lihai memberi contoh cara “mengakali” pajak. Dari Sedong sampai Karangsembung, dari Arjawinangun hingga Kedawung, jejak permainan ini terbentang.

Baca Juga:7 Tersangka Termasuk Mantan Wali Kota Cirebon Nasrudin Azis Dugaan Korupsi Pembangunan Gedung Setda CirebonKejaksaan Negeri Didorong Berantas Korupsi Sampai Tuntas – Video

Pertanyaannya: kalau pendamping desa saja sudah bermain kotor, bagaimana desa bisa belajar mengelola keuangan dengan benar? Apa jadinya jika gembala justru jadi serigala?

Kejaksaan tak main-main. Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18, Subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor, serta Pasal 55 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman berat menanti, meski publik sudah terlalu sering dikecewakan oleh vonis ringan untuk kasus korupsi.

Bagi rakyat, yang terpenting sederhana: uang negara kembali, dan pelaku dihukum setimpal. Bukan drama potong masa tahanan, bukan pula vonis “ala kadarnya” yang justru jadi lelucon hukum.

Kasus ini bukan sekadar soal empat orang rakus. Ini adalah cermin buram betapa rapuhnya tata kelola keuangan desa. Begitu mudahnya data pajak, username, dan password diserahkan. Begitu gampangnya desa tergoda oleh janji “cepat beres”.

Fenomena ini menegaskan satu hal: korupsi di level desa bukan lagi rumor, tapi kenyataan. Jika dulu publik sibuk membicarakan megakorupsi di Jakarta, kini desa pun sudah jadi arena. Bedanya, nilai rupiah mungkin lebih kecil, tapi dampaknya justru terasa lebih nyata karena langsung mengiris kehidupan warga desa.

Kini bola ada di tangan Kejaksaan. Publik menunggu, apakah kasus ini berhenti di empat pendamping, atau akan menyeret nama lain yang mungkin ikut menikmati aliran dana. Karena sejauh ini, modus “setoran sebagian” biasanya bukan kerja sendirian.

0 Komentar